Di era digital yang serba cepat, proteksi finansial sering dipromosikan sebagai solusi instan: cukup bayar premi, hidup tenang. Tapi benarkah sesederhana itu?
Saya ingin mengajak kita semua berhenti sejenak, menimbang ulang: apakah proteksi yang kita beli benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita?
Atau hanya ikut-ikutan tren, takut ketinggalan, lalu terjebak dalam premi yang membebani?
Proteksi Bukan Produk, Tapi Prinsip
Proteksi finansial bukan soal membeli polis termahal, tapi soal memahami risiko dan kemampuan diri.
Saya pernah menyaksikan banyak orang tergoda oleh janji "untung besar", tanpa menyadari bahwa harapan yang tidak realistis bisa berubah jadi buntung.
Proteksi bukan sekadar jaga-jaga. Ia adalah bentuk cinta:
- Cinta pada keluarga yang tak boleh kehilangan arah saat kita jatuh
- Cinta pada diri sendiri yang ingin tetap bermartabat di tengah badai
Tapi cinta pun perlu logika. Jangan sampai demi proteksi, kita justru terjebak dalam premi yang melebihi kemampuan.
Melek Finansial: Dari Kopi ke Kapital
Mari kita mulai dari hal kecil: Rp50,000.
Segelas kopi? Tiket bioskop? Atau modal investasi?