Lihat ke Halaman Asli

Jangan Hijrah Palsu

Diperbarui: 20 Agustus 2020   01:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: akuratnews

Hijrah itu membawa kita berakhlak mulia, bukan sekadar merubah penampilan -- Gus Nadirsyah Hosen

Mungkin beberapa orang mengetahui Gus Nadirsyah Hosen--seorang akademisi asal Indonesia yang kemudian mengajar di Australia. Dia dikenal sebagai salah satu tokoh NU. Dia punya dua sisi yang sangat kontras; bergaul dengan iklim intelektual ala Barat yang terbuka dan modern, di sisi lainnya dia tumbuh dalam tradisi Islam Nusantara. 

Kakeknya KH Hosen ulama dan saudagar berdarah Budis di Tanjung Karang-Lampung. Sedang ayahnya Prof KH Ibrahim Hosen adalah seorang ahli fikih kenamaan dan pernah menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI untuk waktu yang panjang (1981-2000).

Dari beberapa liputan media memperlihatkan bahwa Nadirsyah Hosen punya dua sisi yang sama-sama kuat dan tak pernah goyah dengan keyakinan dan pendiriannya, meski akhirnya dia lama belajar dan bermukim di budaya yang berbeda dengan Indonesia. 

Dia juga tidak memperlihatkan bahwa dia makin berbudaya "barat" atau sangat arab. Dia banyak memberikan dimensi yang berbeda dengan tokoh Islam lain yang cenderung kaku dan keras dalam melihat dan menjalankan Islam.

Soal hijrah misalnya. Seperti kutipan yang penulis jadikan pembuka tulisan ini adalah komentarnya soal hijrah -- yang memindahkan dan menghantarkan seseorang menjadi lebih baik alias berakhlak mulia -- dan bukan malah terpaku soal eksistensial termasuk penampilan. Artinya hijrah sesungguhnya adalah pada otak, hati dan implentasi sikap yang lebih baik dan bukan hanya sekadar fisik.

Hijrah dalam pemaknaan mendalam adalah pindah menuju ke keadaan yang lebih baik. Karena dalam sejarah, Nabi Muhammad pindah dari Makkah ke Madinah untuk membentuk masyarakat yang lebih baik berlandaskan nilai-nilai etis dan agama. Beliau membuat aturan untuk masyarakat kala itu agar bisa hidup dengan tenang dan harmoni.

Namun pemaknaan mendalam itu dipahami secara dangkal oleh beberapa tokoh agama. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian memperkenalkan kepada masyarakat khususnya kau muda. Kedangkalan pemahaman hijrah itu terutama karena kaum muda lebih menekankan makna hijrah dari aspek eksistensialisnya ketimbang substasialnya.

Yang paling kelihatan adalah penggunaan istilah kata-kata yang diambil dari bahasa arab, semisal ukhti untuk menyebut saudara perempuan atau akhi untuk menyebut saudara laki-laki. Atau mungkin kita sering mendengar di televisi beberapa tokoh agama menyebut anta atau antum untuk menyebut anda / kamu dan ana untuk menyebut saya atau aku. Fenomena ini berkembang di kalangan pemuda dan pemudi perkotaan yang mengaku sedang berhijrah.

Hal lain yang eksistensialis adlah cara berbusana yang dianggap lebih islami; yaitu cara berbusana yang menurutp aurat. Sehingga seringkali yang kita lihat pembahasan para wanita di media sosial seringkali seputar jilbab, cadar dan busana muslim lainnya.

Inilah yang menjadi perhatian Gus Nardis dalam menyoal hijrah; karena banyak orang yang mengaktualisasikan hijrah dengan cara yang kurang tepat. Memang di negara kita tidak ada larangan untuk berbicara atau memanggil orang lain dengan cara Arab, atau memakai busana ala Arab, tetapi seperti yang dikatan  Gus Nardis adalah bukan itu hakekat hijrah yang sesungguhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline