Lihat ke Halaman Asli

Mel

Penyuka antariksa

Tumpeng Setampah

Diperbarui: 2 Maret 2021   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika kelam membekam, sesakkan malam, lalu waktu meramu subuh.
Adakah empati lebih dinanti daripada rengkuhan sayap fajar?
Sehangat kopi arabika dari petani dataran tinggi Toraja, diseduh dalam cangkir tanah liat,
Harum, khas; semangat bahu, memikul bakul.
Nikmat sepotong singkong rebus, lahir dari rahim pertiwi, nyaman dalam kantongkantong para swasembada.
Bukanlah awal hari, jika harapan tanpa sederet rencana di atas lembar kreativitas.

Adakah yang lebih eksotis?
Lenggaklenggok kemayu sang pelepah, berayun, menari, serempak tabuhan deru angin genit,
Debur ombak melumat bibir pantai, buih bersorak, berdansa memapah butiran pasir,
Hela perahu ke darat, nelayan dan tumpahkan ikan dari jala, di antara ubur-ubur, riuh bercengkrama dengan plankton,
Kala gerah, mentari merambah langit menuju tengah hari,
Tajam jarum sinar bola api menusuk kulit bumi.
Bukankah siang serupa medan juang, setetes peluh penuh nilai?

Adakah yang lebih syahdu?
Petang merentang,
Jingga merona di barat pipi cakrawala,
Ayamayam berdiang di kandang,
Burung pulang ke sarang,
Lisong tangan pekerja merapikan papir, menyimpan tembakau serta cengkeh dalam kotak purwa,
Roda roda berpacu, berputar, menuju lubuk jiwa.
Inilah senja ...
Meregangkan otot, selonjoran kaki di bangku kayu,
Secerek teh panas tenangkan raga, terseduh di mimbar kesederhanaan.

Adakah yang lebih merdu dari detak denyut nadi bertutur syukur?
Adalah nikmat, rahmat dari Yang Kuasa, semua tersedia dalam tumpeng setampah, uborampe dari kehidupan alam semesta.

Samarinda, 2 Maret 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline