Lihat ke Halaman Asli

Kenali dan Sayangi Buku

Diperbarui: 18 Desember 2018   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.diamput.com

Yusuf Ma'zumi dalam kolom "Pembaca Menulis", di koran Republika, edisi 28 Agustus 2016, mengatakan bahwa di Amerika ada sebuah perpustakaan yang selalu buka 24 jam. Itu pun tidak pernah sepi, baik di pagi hari, siang ataupun malam. Masyarakat Amerika, khususnya pelajar, rajin berkunjung dan membaca buku di perpustakaan. Fenomena semacam itu menarik untuk direnungkan.

Di Indonesia pemandangan fenomenal itu sulit sekali ditemukan. Apalagi di daerah kecil macam Ponorogo. Berita Antaranews (28/10/2015), memberitakan betapa di negara maju, orang umumnya gemar membaca. 

Setiap penduduk membaca 20 hingga 30 judul buku setiap tahunnya. Sebaliknya, di negara berkembang termasuk Indonesia, penduduk hanya membaca paling banyak 3 judul buku, itupun tergolong usia 0-10 tahun. Sungguh seperti "binatang langka" saya menyebutnya. Maksudnya tidak sembarang tempat dapat kita jumpai dan temukan.

Tak hanya di Amerika, di Jepang pun, sudah mengakar lama tradisi membaca. Bahkan barang siapa yang tidak membaca, maka ia akan mendapatkan sanksi. Bagi
mereka, membaca menjadi suatu kewajiban, sebagai kebutuhan, akan hausnya ilmu pengetahuan. Sayangnya, kesadaran terhadap membaca buku di masyarakat Indonesia minus sekali. Jika kita mau belajar dari budaya baca Amerika dan Jepang, maka bangsa kita tidak saja kaya akan hasil alam, harta, tetapi juga unggul kualitas SDMnya.

Dalam membangun kesadaran masyarakat, maka dibutuhkan usaha yang ekstra. Baik masyarakat, keluarga, sekolah, dan terlebih lagi pemerintah. Mengapa demikian?
Karena sejak kecil, anak-anak tidak dikenalkan dan dibekali dengan budaya membaca. Jangankan membaca, buku pun mereka tidak dikenalkan oleh kedua orang
tuanya. Pertanyaannya: bagaimana budaya membaca akan terbentuk, jika buku saja tidak dikenalinya. Seperti pepatah," Tak Kenal Maka Tak Sayang."

Sebelum kita suka kemudian menyayangi sesuatu, tentunya kita harus mengenali dulu sosoknya (buku). Entah dipandang dari sudut mana, kita harus memahaminya terlebih dulu. Coba bayangkan, ketika seseorang ingin menikah pasti mereka harus mengenal dulu sosok orang yang akan dinikahi. Tidak hanya sosoknya tetapi juga keluarga, pergaulan, dan lingkungannya. Maka diantaranya akan tumbuh sikap menyayangi serta manjaga. Sebaliknya, ketika seseorang ingin menikah dan belum mengenal orang yang dinikahi, maka apa yang terjadi? Tentu, rasa sayang akan sulit tumbuh, begitu pula dengan rasa simpati dan empati mereka.

Ibarat mencintai buku sebagai pernikahan di atas, maka problemnya hal itu tidaklah terjadi di Indonesia. Bangsa kita tidak memiliki budaya membaca, parahnya lagi tidak mengenal buku. Buku terbitan memang banyak, tetapi mereka tidak tahu mana buku yang berkualitas baik atau sebaliknya.

Untuk mencintai buku barangkali kita bisa belajar dari tokoh-tokoh sejarah yang monumental seperti Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta. Tan Malaka, setiap pagi rela berjalan kaki dari Kalibata ke Museum Nasional (sekarang Perpustakaan Nasional) hanya untuk membaca buku. Bung Hatta, karena begitu cinta membaca buku ketika akan dipenjara, ia berkata, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas."

Sukarno, presiden RI pertama itu meskipun lahir dari keluarga yang miskin, tetapi gemar membaca buku. Perpustakaan Theosofi Surabaya menjadi rumah keduanya. Padahal, di zaman Soekarno negara kita masih dalam penguasaan bangsa lain. Tapi, siapa sangka Soekarno begitu gentol lari dalam dunia buku untuk menjernihkan dan mengasah otaknya.

Otak manusia itu diibaratkan seperti gergaji. Kalau dibiarkan saja---tidak diasah atau dikikir, sudah pasti tidak dapat digunakan lagi. Sama seperti otak kita, kalau tidak dipasok wawasan dan ilmu guna menggali pengetahuan berpikir, maka otomatis saraf-saraf yang semula aktif akan mati, dan akhirnya tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Sungguh menyeramkan.

Coba renungkan, siapakah ketiga orang itu (Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta)? Mereka adalah orang-orang besar di bidang literasi pada zamannya. Mereka mengartikan buku serupa ruang jiwa. Bukulah yang menjadikannya orang besar. Lalu, bagaimana dengan kita?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline