Lihat ke Halaman Asli

Didi Widyo

ASN Pendidik

Corona dan Belajar atau Sekolah Daring

Diperbarui: 19 Maret 2020   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi eduaksi.com

Para guru dan kepala sekolah di Jakarta, dan beberapa wilayah lain yang diminta meliburkan sekolahnya paling tidak selama dua pekan, berpikir keras dan mendapat tugas tambahan yaitu mencari tahu bagaimana cara mengajar siswa tanpa bertemu langsung dengan mereka. Belajar melalui teknologi komunikasi, belajar jarak jauh alias daring. Mungkin lebih mudah bila belajar pengetahuan. Lalu bagaimana mengajarkan dan atau melakukan praktikum mata pelajaran sains atau percobaan sains secara jarak jauh.

Jakarta merupakan wilayah pertama yang dikonfirmasi terkena infeksi koronavirus di Indonesia, dan diberlakukannya belajar dari rumah untuk semua sekolah. Para guru juga kepala sekolah mau tidak mau, siap tidak siap harus dapat menjamin tetap terselenggaranya proses pembelajaran termasuk tetap menyelenggarakan ujian-ujian formatif.

Tentu ini bukan masalah sederhana. Sebagian besar guru memang telah terlatih dan terbiasa menerapkan model-model belajar inovatif, namun itu dalam konteks tatap muka, adanya interaksi langsung antara murid dengan murid dan guru dengan murid.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai Senin (16/3) memutuskan untuk menutup sekolah-sekolah di lingkungan ibu kota selama dua pekan serta menunda pelaksanaan Ujian Nasional tingkat menengah atas (SMA/SMK), sebagai langkah antisipasi penyebaran wabah corona (COVID-19). Anies menyatakan kegiatan belajar mengajar akan berlangsung jarak jauh. Anies menegaskan bahwa ini bukan liburan sekolah yang kemudian digunakan untuk pulang kampung atau rekreasi keluarga.

Anies juga menyerukan agar tempat-tempat belajar informal seperti kursus dan bimbingan belajar juga mengambil sikap serupa, mengubah proses belajar mengajar dari jarak jauh.

Mempersiapkan sekolah untuk memindahkan pengajaran secara daring adalah tugas besar, membutuhkan perencanaan dan persiapan, bahkan pelatihan guru, dan tentu tidak akan terlaksana dalam waktu yang sangat singkat. Tidak hanya di Indonesia, hampir di semua negara bahkan Amerika yang juga merumahkan para siswanya, para guru dan kepala sekolah juga mengalami kesulitan untuk mengubah modus pembelajaran ini.

Beberapa guru yang telah memiliki keterampilan menggunakan teknologi informasi untuk belajar daring dan berasal dari sekolah-sekolah “unggulan” merasa sanggup untuk melaksanakan pembelajaran daring dan tetap dapat menjaga ketercapaian tujuan belajar para siswa. Namun sebagian besar guru dan sekolah hanya dapat berharap kepada peran orang tua untuk mendampingi para putra-putrinya untuk belajar sesuai dengan tugas yang diberikan oleh guru dan melaporkannya melalui media sosial. Bahkan beberapa sekolah mencoba untuk lebih intensif menggunakan komunikasi elektronik dengan menugaskan kepada para murid untuk merekam aktivitasnya di rumah dan dikirimkan kepada gurunya masing-masing.

Untuk Sekolah Dasar para orang tua juga dapat melaporkan aktivitas belajar putranya melalui rekaman video. Apalagi telah ada dukungan belajar daring dari kementerian melalui berbagai upaya penggunaan teknologi komunikasi yang mudah dilaksanakan dan pemberian kuota data yang bekerja sama dengan mitra.

Tentu berharap bahwa capaian atau hasil belajar akan tetap dapat dicapai sebagaimana kondisi normal adalah hampir mustahil. Kurikulum dan metode pembelajaran yang dirancang -walaupun telah dicanangkan belajar merdeka-  adalah belajar tatap muka konvensional yang mempersyaratkan interaksi langsung. Begitu pula kesiapan mental siswa. 

Ketika beberapa pimpinan daerah kemudian menerapkan kebijakan yang sama dan kemudian negara tetangga memberlakukan “lockdown”, para guru dan kepala sekolah seakan merasa mendapat teman, senasib, yang dapat memberi sedikit ketenangan karena berkurangnya tekanan. Selama ini mereka begitu risau dan kawatir memikirkan bagaimana nasib anak-anak mereka yang pasti akan tertinggal dalam belajarnya.

Bahwa tugas guru dan kepala sekolah menjadi lebih berat sudah pasti. Namun kesan bahwa guru dan atau sekolah masih dengan mindset lama, takut tertinggal, khawatir prestasi siswanya jeblok, kalah dengan sekolah lain dan sejenis dengan itu masih ada, memang iya. Tugas kita untuk mengubah "mindset" tersebut menjadi pikiran kolaboratif. Bukan sekolah saya, bukan sekolah unggul, tetapi sekolah Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline