Lihat ke Halaman Asli

Mas Nawir

Wiraswasta/Penulis lepas

Benarkah Kita Pilih Kasih terhadap Anak?

Diperbarui: 1 Maret 2020   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pixabay

Sifat dan sikap orang tua secara tidak langsung memang dipantau oleh anak.  Bahkan mereka mampu menduplikasi apapun ang dilakukan orang tua saat memperlakukannya. Dan akan ia lakukan pada orang lain suatu waktu.

Sebagaimana gambaran tentang ungkapan "al-walad shuratul walid"  anak adalah gambaran orang tua. Dan akibatnya bila anak-anak melakukan sebuah tindakan melanggar normal maka akan dikatakan "anak polah bapa kepradah". Anak berbuat ayah terkena akibat.

Sebagai orang tua kita yakin bahwa kita sudah berusaha membagikan porsi kasih sayang dan perhatian terhadap anak-anak agar sama dan adil. Tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain. Apalagi bila anak kita jumlahnya banyak.

Tapi seringkali anak yang  lebih besar atau dewasa memang mendapatkan porsi  perhatian yang lebih sedikit dari yang lebih kecil. Karena anak yang  lebih besar  dipandang  lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan tanpa pendampingan orang tua.

Apalagi bila kita punya bayi, berapapun jumlah anak yang kita miliki,  fokus kita akan tercurah kepada si bayi.

Biasanya saudara yang lebih sedikit memang sering menimbulkan rasa cemburu. Misalnya saat usia sekolah Paud,  tetiba punya adik,  maka perasaan cemburu itu akan teramat besar. Terlebih  waktu ibu atau ayah memang lebih banyak tercurah kepada si bayi.

Ini pengalaman pribadi kami, jarak kelahiran anak pertama dan kedua adalah 18 bulan. Otomatis waktu si sulung menikmati ASI harus berkurang. Saat itu putri sulung kami sering  berlinang air mata saat melihat adik menyusu ibunya.

Ia makin terlihat merana saat menyaksikan orang datang membawa mainan, tempat makan,  bahkan pakaian bayi. Semua untuk adiknya karena tak muat untuknya.

Kakek neneknya juga sering  memangku adiknya,  bukan dia.  Maka rasa cemburunya makin membara. Apalagi kalau kami harus pergi, ia harus tinggal bersama saudara atau tetangga.  Pastilah meronta-ronta.

Suatu hari kami agak sibuk, adiknya terjaga dan ngoceh sendirian. Lalu kami mendengar seperti suara nafas yang terbentur, ternyata si sulung menyuapi adiknya dengan uang logam seratusan. Untungnya tak tertelan. Dan saat dibawa ke dokter hanya ada sedikit luka di tenggorokan si bayi.

Saat usianya agak besar,  mereka berdua hampir sekolah di pendidikan dasar. Suatu malam adiknya menangis. Kakaknya menyuruh memegang plastik dan dibakarnya.

Tapi 5 tahun kemudian, lahir anak kami yang  ketiga.  Kedua kakaknya menyambut dengan gembira, dan sering berebut mendorong kereta bayi saat jalan-jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline