Lihat ke Halaman Asli

David Efendi

Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

Perang Kota di Bumi Mataram

Diperbarui: 8 Maret 2016   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

David Efendi

Pegiat #urbanLiteracyCampaign dan Rumah Baca Komunitas

Apa gerangan yang membuat rumah Jogja ini begitu gerah, sumuk, kemrungsung, suasana perang lebih gampang dikenal ketimbang suasana damai? pertanyaan ini paling penting ditujukan kepada siapa? siapa saja tentu punya legitimasi untuk menjawab, tak peduli dari mana, apa jabatan, ktp jogja atau bukan. Jogja konon indonesia mini wajah multikultural yang tercerahkan. Jadi, jangan sampai ethnisitas menjadi penghalang untuk melihat obyek kebenaran mengenai apa yang sedang menimpah kota pendidikan ini. Atau dengan cara bertanya lain, jenis perang apa yang sedang berkecamuk siang malam di jogja kota republik ini? Perang asimetris? Bumi mataram makin panas, perang pun sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.[caption caption="gambar oleh Tuturpena"][/caption]

Ilustrasi di atas sedikit memberikan peta pertempuran di Yogyakarta yang bersumber pada (1) dana keistimewaan atau proyek pembangunan pemerintahan; (2) praktik per-mafia-an tanah di DI Yogyakarta yang semakin mewabah berjejaring layaknya mafioso Italia; (3) sengketa dan darurat hotel yang mengkonsolidasikan kekuatan pemodal vis a vis warga berdaya--sayang pemerintah tidak jelas berada di kubu siapa. Ketiga musabab pertempuran dalam perang kota Yogyakarta ini  juga dapat dikembangkan untuk pemetaan aktor-aktor yang terlibat mulai aktor dengan orotitas finansial, karismatik, pragmatis-oprtunis, sampai pada aktor-aktor grassroot yang terus tumbuh.

Peperangan apa dan siapa?

Dalam teori Bordieu (1984) untuk terjadinya konfrontasi diperlukan apa yang dinamakan field of force--yaitu kondisi yang memungkinkan beragam kekuatan dinamis yang ada di masyarakat mewujud dalam ekpresi dan perannya. Misalnya, kondisi kemacetan, panasnya kota, keringnya sumur warga, hilangnya ruang publik akan memicu kelompok yang menolak kerusakan dan juga sekaligus kelompok yang mempertahankan kepentingan proyek ekonominya di tengah reruntuhan harapan hidup masyarakat luas. Kebudayaan guyup dihadapkan pada rezim pertumbuhan ekonomi yang tak kenal siang dan malam dalam operasi merebut sumber kemakmuran (uang). Segregasi elit baik di level official politics, masyarakat bisnis s, atau actor politik intermediate sangat besar kontribusinya akan potensi perang kota.

Faktor lainnya yang juga sangat penting adalah apa yang disebut teori (1) contentious politics (McAdam, Tilly) yang diolah oleh media yang dekat dengan masyarakat (TV, koran lokal, radio dll) dan juga struktur peluang politik (political opportunity) yang juga biasanya berkelindan dengan kepentingan ekonomi elit. Site politik bernama pemilihan wali kota adalah ajang paling startegis untuk menghasilam kekuatan bargaining baru akan apa yang menjadi concern publik dalam persoalan tata kota dan kebijakannya. Kedua teori tersebut yang akan menjelaskan bagaimana transformasi ketidakgembiraan masyarakat menjadi suatu gerakan sosial bahkan anarkisme. Anarkisme bukan berarti tak mengakui Negara karena anarkisme baru itu adalah ekpresi otonomi dan keberdayaan individu—tak berarti mengancam negara. Anarkisme itu adalah seperti, nafas kehidupan, yang tak bisa dikebiri. Cara kerjanya akan didiskusikan sebagai berikut.

Batalyon Warga Berdaya

Warga berdaya bukan komunitas, melainkan sebuah inisiatif positif yang diusung oleh warga yang hidup di ruang kota Yogyakarta. Kini dan seterusnya, gerakan Warga Berdaya merupakan sebuah wadah terbuka bagi warga dan siapa saja yang mendukung prinsip dan praktik pembangunan yang lestari dan adil di Yogyakarta (siapakah warga berdaya?sumber: wargaberdaya.wordpress.com). Mungkin menjadi penanda penting, ketika ratusan anak muda dengan bekal kreatifitas dari berbagai komunitas berkumpul mengkritisi kotanya.

Tanpa titel gerakan tertentu, mereka menyebut diri sebagai warga Yogya peduli ruang publik kota. Sebelumnya, masing-masing komunitas ini kerap melakukan aksi sporadis terkait pembenahan kualitas ruang publik kota. Komunitas Jogja Last Friday Night, misalnya, telah terlebih dahulu melakukan pengecatan ulang berbagai marka jalur sepeda. Komunitas Reresik Sampah Visual, dan sebagainya. Kekuatan ini dikonsolidasikan oleh suatu common enemy--mafia yang merusak kota.

Kemunculan aktor masyarakat yang terhimpun dalam gerakan warga berdaya sudah memperlihatkan konsolidasi warga yang merasa otonom dan berani menghadapi kemungkinan buruk apa yang dipaksakan oleh pemilik modal (hotel dna mall) dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah yang selalu beralasan soal regulasi dan kewenanan sebagai basis argumen ‘lepas tanggungjawab’nya. Di aman web warga berdaya tertuliskan slogan “terus berkarya, jangan berharap kepada negara” ini sudah mengarahkan kepada moral kelompok urban yang mirip kepada model anarkisme petani yang pernah dituliskan James C Scott dalam the weapon of the weak. Bukan karena lemah, mereka justru sangat percaya bisa bertindak secara otonom melawan kebijakan negara baik langsung maupun tidak langsung. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline