Lihat ke Halaman Asli

mad yusup

menggemari nulis, membaca, serta menggambar

Kopi Kacamata dan Simbol Keakraban

Diperbarui: 28 Agustus 2022   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dokpri)

Apa yang paling asik dinikmati kala turun hujan? Ya, ngopi-lah. Apalagi tinggal di Kota Bogor yang dikenal dengan sebutan sebagai Kota Hujan. Warganya pasti suka minum kopi. Jadi tak heran, meskipun merupakan kota kecil (11,850 Ha) dengan 6 (enam) kecamatan dan 68 (enam puluh delapan) kelurahan serta dihuni oleh lebih dari 1 juta penduduk, namun kota ini punya empat nama besar produsen kopi yang menjadi kebanggaan urang Bogor. Salah satunya yang paling tua adalah kopi bubuk Bah Sipit Cap Kacamata yang berlokasi di Kelurahan Empang, Bogor.

Dengan tingkat curah hujannya yang terbilang tinggi, Kota Bogor secara geografis bukanlah penghasil kopi seperti halnya daerah Lampung, Toraja, Gayo, Malabar, atau pun Bali. Mungkin kita bisa meminjam analogi negara AS yang bukan negara penghasil kopi seperti halnya Brazil, namun memiliki brand kopi yang sangat terkenal ke seluruh dunia. Bahkan menjadi bagian dari gaya hidup kalangan 'crazy rich'.

Dalam tataran lokal, seperti itulah yang terjadi di Kota Bogor yang bukan daerah penghasil kopi, tapi bisa memiliki lebih dari satu brand kopi terkenal yang masing-masing mempunyai penggemar fanatiknya sendiri. Seperti kopi Bah Sipit Cap Kacamata ini.

"Keberadaan kopi Bah Sipit Cap Kacamata ini sangat terkait erat dengan pemukiman peranakan Arab di wilayah Empang yang secara tradisi gemar minum kopi," ungkap Abdullah Batarfie, pemerhati sejarah dan kebudayaan Empang sekaligus penggemar fanatik kopi Bah Sipit.

                    ***

Etnis Arab memang tak bisa dipisahkan dengan sejarah kopi, hingga salah satu varietas kopi pun dinisbatkan dengan namanya, yaitu kopi Arabika (coffea arabica). Konon varietas kopi yang asalnya dari Ethiopia itu selain disebut sebagai kopi Arab, juga disebut kopi gunung atau kopi semak Arab, dan merupakan spesies kopi pertama yang dibudidayakan bangsa Arab di wilayah Yaman.

Sementara etnis Cina/Tionghoa sangat identik dengan tradisi minum teh (cha dao). Bahkan ada ritual upacara minum teh (gongfu cha) yang begitu rumit sejak masa Kekaisaran Shen Nung (300 SM). Begitu kuatnya tradisi minum teh di kalangan etnis ini hingga Lu Yu (733-804), sang penulis Klasika Teh sampai didapuk sebagai Dewa Teh.

Di sinilah keunikan itu terjadi. Kepiawaian peranakan Cina/Tionghoa dalam membaca peluang berbisnis kopi di Kota Hujan ini. Salah satunya adalah Yoe Hong Keng (1902-1985) alias Babah Sipit yang meski secara tradisi, mereka lebih dekat dengan tradisi minum teh-nya.

Keberadaan komunitas Arab dan Sunda yang gemar minum kopi, membuat lelaki bermarga Yoe ini mulai berjualan kopi di rumahnya yang sekaligus menjadi gerai/toko kopinya.

Sejak pertama kali dirintis pada tahun 1925, dan sudah menjelang satu abad usianya, kopi ini tetap eksis dan menjadi salah satu kopi kebanggaan warga Kota Bogor, khususnya warga Empang dan sekitarnya. Ciri khas tokonya masih mempertahankan gaya toko tempo doeloe dengan lemari-lemari kayu sebagai rak atau etalase untuk jejeran kopi-kopi dalam berbagai ukuran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline