Lihat ke Halaman Asli

Herlya Inda

Momhomeschooler

Idul Fitri Setiap Tahun Selalu Ada Kesannya Masing-Masing

Diperbarui: 24 Mei 2020   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idul Fitri (pic :jurnalpresisi-pikiranrakyat) 

Kalau ada yang bertanya dengan saya, Idul Fitri apa yang paling berkesan? Jujur, saya jawab semuanya memiliki kesannya masing-masing, sungguh sulit bagi saya memberi penilaian mana yang menjadi ter atau paling.  Nyatanya kejadian di setiap Idul Fitri bagi saya berbeda-beda momen, dan akhirnya jadi berbeda rasa seperti punya pengalaman baru setiap Idul Fitrinya.  

Kok bisa? Ya bisalah. Yang buat sama hanya dibagian sholat Ied dan kue lebaran. Selebihnya nano-nano rasanya.

Konvoi Mudik, Menghitung Jembatan Hingga Muntah Berkali-Kali

Keluarga besar saya yang tersebar di semua pulau kecuali Papua membuat kami bisa lebaran berpindah-pindah tempat atau janjian konvoi jika berada di jalur yang dilewati.  

Memang bukan yang setiap propinsi ada, tapi paling tidak mesti ada satu keluarga yang berada di pulau tersebut.  Tapi setelah diingat-ingat, wajar saja waktu kecil meskipun jalan-jalan ke kota Om dan Tante, kami tidak pernah menginap di hotel.  Salah satu keuntungan memiliki banyak keluarga yang tersebar, bisa menghemat pengeluaran penginapan.  Termasuk harus siap juga jika suatu saat rumah kita yang dijadikan posko ngumpul, hehe...

Tidak selalu mudik menggunakan mobil pribadi, kebanyakan sih menggunakan transportasi umum, dari bus, kereta, pesawat dan kapal.   Jadi ketika saat itu keluarga besar mau janjian ketemuan di Bandung, bukannya langsung berangkat ke sana, tahun itu lupa-lupa ingat mungkin usia sekolah dasar, konvoi keluarga Padang, Bengkulu, Kerinci, Palembang Sampai di Lampung beristirahat dulu di Tanjung Karang sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Konvoi mobil (pic GridOto.com)

Kebetulan usia sepupuan bisa dibilang tidak terlalu berjarak, jadi kami cukup dekat satu sama lain, kalau sudah ngumpul biasanya bisa main 'tak sudah-sudah'.  Jadilah begadang di saat badan masih lelah di perjalanan membuat saya muntah berkali-kali.  Apalagi saat naik kapal.  Wuaah... Sementara yang lain bolak-balik lihat laut, saya merasa dunia hampir runtuh.  

Saya kecil merasakan perjalanan panjang begitu terasa lambat.  Berhenti sesaat untuk makan jagung rebus, atau meluruskan kaki pak sopir andalan dan utama yaitu papa sendiri dan papa lainnya (para om).  Minum air kelapa muda, atau sekedar makan gorengan di warung pinggir jalan.

"Berapa jam lagi pa sampainya?" Pertanyaan rutin yang selalu saya ajukan.

Jawaban rutin papa adalah "Setelah 100 jembatan, kita sampai"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline