Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Lutfi

Tenaga pengajar dan penjual kopi

Membandingkan Penyebaran Virus Corona dan Virus Membaca

Diperbarui: 8 Maret 2020   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Akhir-akhir ini bahkan sampai sekarang, masyarakat Indonesia dibuat panik dan takut oleh virus corona atau Covid-19. Virus yang berasal dari China, tepatnya Kota Wuhan ini telah menelan lebih dari tiga ribu korban jiwa. Di Indonesia sendiri empat orang dinyatakan suspect corona dan sekarang masih dalam perawatan. Penyebarannya yang begitu cepat ke beberapa negara telah menjadi ancaman serius.

Pernyataan di atas hanyalah suatu pengantar agar kita membayangkan dalam tempo dua bulan virus corona telah menyebar dengan cepat dan menelan korban. Selanjutnya mari kita komparasikan dengan virus membaca, lalu bayangkan bagaimana jika seandainya virus membaca menjangkiti setiap penduduk Indonesia sama cepatnya dengan penyebaran virus corona. Maka, tidak ayal lagi negara ini akan mengalami peningkatan indeks literasinya.

Memang rasanya kurang pas membandingkan dua virus yang kontras ini, yang satu ditanggulangi penyebarannya dan satunya lagi diusahakan menyebar tetapi marilah kita lihat dari sisi yang berbeda. Sejauh ini, segala bentuk upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi penyebaran virus corona. Mulai dari edukasi penanggulangan virus corona, sampai pada pelarangan dan penutupan perjalanan ke beberapa negara.
Dalam usaha penyebaran virus membaca, pemerintah juga telah berusaha meningkatkan indeks literasi membaca penduduknya.

 Bahkan, usaha ini pun sudah lama dilakukan. Bisa dilihat salah satu usaha pemerintah, yaitu dicetuskannya gerakan literasi nasional pada tahun 2016 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Gerakan literasi nasional kemudian dipecah menjadi tiga bagian, yaitu gerakan literasi keluarga, gerakan literasi sekolah dan gerakan literasi masyarakat.

Lain usaha pemerintah, lain pula usaha pemerhati dan penggiat literasi dalam menyebarkan virus membaca. Dewasa ini, kepedulian terhadap pentingnya membaca menumbuhkan semangat pemerhati dan penggiat literasi baik yang mandiri maupun komunitas. Oleh karenanya dapat kita jumpai saat ini penggiat literasi mandiri menjajakan buku dengan mobil literasi, kuda literasi, dan perahu literasi. Sementara itu, penggiat literasi komunitas mendirikan taman bacaan masyarakat yang dikelola oleh sukarelawan.

Lalu pertanyaanya sekarang, bagaimana peningkatan literasi membaca penduduk Indonesia setelah virus-virus membaca telah disebarkan secara nasional beberapa tahun yang lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita tarik dulu ke belakang mengingat kejadian-kejadian penting dalam usaha pemerintah membumikan virus membaca di negara kita.

Sebelum booming-nya istilah literasi, ada istilah buta aksara yang ditujukan untuk mereka yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Keadaan ini disadari oleh pemerintah dan kemudian berusaha mengatasinya sehingga muncullah istilah pemberantasan buta aksara. Usaha pemberantasan buta aksara tersebut dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres). Pada tahun 1973, Presiden Suharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. 

Dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut memberi dampak yang signifikan dimana anak-anal mulai masuk ke sekolah. Selanjutnya pada tahun 1984, Presiden Suharto mencanangkan program wajib belajar enam tahun, yang kemudian disusul lagi pencanangan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 1994. Pada tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan  Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Usaha yang dilakukan pemerintah secara terus menerus hingga saat ini telah membuahkan hasil. Pada tahun 2015 yang lalu mengutip dari laman gln.kemdikbud.go.id, angka penduduk buta aksara sebanyak 5,6 juta orang atau 3,4 persen. Selanjutanya, masih dari sumber yang sama, pada tahun 2018 berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS jumlah penduduk buta aksara telah berkurang menjadi 1,93% atau sebanyak 3,29 juta orang. Tentu kabar ini merupakan kabar gembira bagi kita semua bahwasannya penduduk Indonesia telah melek huruf.

Melihat peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2015, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 di samping terus melakukan pemberantasan buta aksara. Salah satu bunyi dari peraturan tersebut adalah membiasakan membaca buku non pelajaran selama lima belas menit sebelum pembelajaran dimulai. Dari situ dapat dilihat transformasi gerakan yang awalnya pemberantasan buta aksara menuju habitus membaca.

Transformasi pemberantasan buta aksara menuju habitus membaca memiliki tantangan. Tantangan tersebut bisa datang dari dalam diri seperti malas membaca, membaca adalah pekerjaan membosankan, dan membaca pekerjaan anak kecil. Tantangan dari dapatlah kita merujuk pada penelitian Lukman Sholihin, dkk (2019) tentang Indeks Iiterasi Membaca 34 Provinsi menunjukkan bahwa aktivitas literasi membaca nasional tergolong rendah. Penelitian tersebut melihat dari empat aspek, yaitu aspek kecakapan, dimensi akses, dimensi alternatif, dan dimensi budaya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline