Lihat ke Halaman Asli

Luluk Marifa

Read, read and read. than write, write and write.

Penduduk Bumi Spek Bidadari

Diperbarui: 9 Juni 2023   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari yang cukup terik di bulan Juni yang terkenal dengan sajaknya dari pujangga ternama Eyang Sapardi, Hujan Bulan Juni. Tapi menurutku hujan bulan Juni itu macam perempuan perawan yang malu-malu ketika ditawari perihal nikah, eh. Maksudku, Hujan bulan juni itu kadang hanya gerimis kecil-kecil, lembut melebihi lembutnya suara gadis dari suku Sunda. Tak pernah deras,tanpa aturan. Kadang malah hanya mendung  yang tertiup angin, hilang tanpa bekas tanpa hujan serintikpun malah.

Angin bulan Juni juga lumayan brutal, semisal tadi siang. Ketika aku sedang menata lembar demi lembar kertas yang baru saja kufotocopy. Lembaran yang cukup banyak itu membuatku repot harus menatanya ulang agar sesuai urutan sebelum dijilid dan diserahkan pada pihak Fakultas. Bangku panjang yang disediakan di depan tempat fotocopy kugunakan untuk menggelar lembaran-lembaran. Beruntung area fotocopy tak ramai, sehingga seolah tempat itu merestuiku untuk berpusing ria mengurutkan lembar-lembar yang belum urut.

Benar saja, Angin yang tiba-tiba bertiup dengan brutal menghempas beberapa lembar yang sudah kujejer di atas bangku panjang. Panik tentu saja, pasalnya tak hanya satu dua yang terbang, tapi puluhan lembar. 

"Eh, eh," pekikku tertahan mendapati angin yang lagi-lagi berhembus menambah kocar kacir lembaran kertas milikku. 

Sebelum bertambah rumit, pemberat kuletakkan menindih kertas-kertas yang ringan agar tak terbang lagi jika ada angin susulan. Kaki gesit bergerak, tanganku pun demikian. Mengambil satu demi satu lembar kertas yang tergeletak begitusaja di tanah, bahkan sampai tepi jalan. Untungnya, eh Alhamdulillahnya bulan Juni bukan bulan dengan hujan dengan curah yang tinggi. Hanya dalam bait puisi-puisi saja yang digambarkan hujan bulan Juni sebagai sesuatu yang tabah. 

Tinggal satu lembar lagi, kertas yang berserak itu berhasil kukumpulkan. Letaknya yang agak jauh membuatku kembali melangkah. Namun, dari arah yang berlawanan seseorang telah berjalan dengan cepat lantas membungkuk, mengambil kertas itu dan menyerahkannya padaku.

Jika kalian berfikir seseorang itu adalah lelaki yang rupawan lantas setelah memberikan kertas padaku aku terpesona, berkenalan lantas tak lama berkencan secara romantis, tidak-tidak. Aku tidak akan menuliskan genre romance di cerita kali ini. 

"Terimakasih, Mbak," ucapku menerima kertas dari tangannya, membungkuk. Sudah macam sopan santun di drama-drama Korea itulah.

Meski ini bukan genre romance kuakui aku sungguh terpesona dengan kebaikan perempuan itu, perempuan bercadar lebih tepatnya. Berjilbab panjang, bergamis dan hanya nampak kelopak matanya yang teduh. Ya, aku tak membual tentang kata teduh. aku benar-benar terpesona dengan sikapnya yang mau membantuku meski kami sama sekali tak saling mengenal. 

Bisa saja ia memilih mengabaikanku yang memungut kertas-kertas yang tergeletak acak itu, atau ia juga dapat memilih mendoakan saja dalam batin semoga aku diberi katabahan dalam menghadapi angin brutal bulan Juni lantas melenggang melanjutkan tujuannya. Namun, ia memilih berhenti sejenak, demi membantuku meraih kertas terakhir yang letaknya di pinggir jalan.

Dari matanya yang dapat kulihat, wanita itu tersenyum sebagai jawaban atas ucapan terimakasihku yang cukup kencang, terbawa euforia penerimaan bantuan dari mahluk bumi spek bidadari. Mas-Mas yang tengah memarkirkan motor di depan tempat fotocopy menoleh, memerhatikan sekilas, apasih teriak kenceng banget. Kalau boleh suusdzon mungkin itu suara hatinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline