Lihat ke Halaman Asli

Pantas Diri, Bukan Pentas Diri

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi itu, Kemprul dan Semprul pergi ke Seminar Nasional Budayawan di Kabupaten. Mereka tentu bukan budayawan sebagaimana kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata budaya sebagai “seorang yang ahli kebudayaan”, namun Lék Qosim sambil memberikan undangan itu sambil seloroh bilang: “Kalian datang saja ke pertemuan itu, kalian kan pelaku kebudayaan..he he!”. Akhirnya Kemprul dan Semprul berangkat berboncengan menuju pertemuan tersebut.

Sambil mesam-mesem mereka berdua menuju pos penerimaan tamu dan menunjukkan undangan tersebut. Degup jantung mereka seakan terdengar...takut kalau tidak boleh masuk. Dan plong rasanya saat penerima tamu mempersilahkan mereka masuk sambil memberikan snack dan air kemasan. Sampai di dalam mereka berdua memilih tempat yang paling strategis...paling strategis untuk tidak terlihat...he he.

Yang paling berkesan bagi mereka adalah saat menyimak ‘ceramah’ seorang budayawan yang juga seorang ulama’ yang sering mereka mereka lihat dan dengar namanya disebut-sebut di televisi. Di antara yang paling terkesan oleh mereka berdua adalah saat budayawan itu mengatakan: “Norma atau ungah-unguh itu tidak sebatas kepada orang tua, teman, tetangga, namun norma itu juga harus diterapkan kepada alam semesta dan Penciptanya. Penerapan norma kepada alam semesta bentuknya adalah tidak merusak, sedangkan kepada Pencipta adalah memantaskan diri sebagai makhluqnya, sebagai kawulo-nya, bukan malah mentang2 merebut dan berperan jadi Pencipta dengan adigung-adiguno, ora sepakat sikat, ora ngalih tendang, ora ngeser sikut.”

Sepulang dari acara seminar itu, mereka pulang dan mampir di warung dawet. Sambil menikmati dawet, mereka mendiskusikan seminar yang barusan mereka ikuti.

Semprul: “Prul seminarnya tadi bagus ya...mencerahkan...he he!”

Kemprul: “Iya Prul, lha yang paling kamu ingat yang mana?”

Semprul: “yang itu...memantaskan diri sebagai kawulo, jangan merebut posisi Tuhan dengan adigung-adiguno, ora sepakat sikat, ora ngalih tendang, ora ngeser sikut...he he.”

Kemprul: “Iya Prul...mantap memang kyai itu tadi.”

Semprul: “Hei...kan memang tidak pantas kawulo kok adigung-adiguno, ora sepakat sikat, ora ngalih tendang, ora ngeser sikut. Terus pantasnya gimana Prul?”

Kemprul: “Jadi hamba atau kawulo itu pantasnya yo...Syukur atas nikmat-Nya, Sabar dengan ujiannya, Ikhlas beribadah, Rendah Hati akhlaknya, Ridlo atas takdirnya.”

Semprul: “Iya ya...”

Kemprul: “Manusia yang hidupnya adigang-adigung-adiguno, ora sepakat sikat, ora ngalih tendang, ora ngeser sikut biasanya senangnya mementaskan diri, dan belum mampu memantaskan diri.”

Semprul: “Dalilnya apa Prul?”

Kemprul: “Dalilnya apa?!”

Semprul: “Dalim memantaskan diri itu tadi...he he”

Kemprul: “Dalilnya...Isoo rumongso Ojo Rumongso Iso...he he”

Kemprul dan Semprul akhirnya tertawa...ruhani dan jasmani mereka kenyang.

Catatan:

Kawulo = hamba

Adigang, Adigung, Adiguna = menonjolkan keluhuran, keturunan, kebangsawanan, dan kepandainnya.

Ora sepakat sikat = menganiaya yang berbeda pendapat.

Ora ngeser sikut = memaksakan kehendak.

Isoo rumongso Ojo Rumongso Iso = Bisalah merasa, jangan merasa bisa

Kalitirto, 29 Agustus 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline