Lihat ke Halaman Asli

Media Cetak, antara Perspektif Bisnis vs Jurnalis

Diperbarui: 4 Maret 2016   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - surat kabar cetak (Shutterstock)"][/caption]Kadang hanya bisa senyum sendiri saat membaca status beberapa teman Facebook yang kebetulan berprofesi sebagai sang pencerah, jurnalis. Sedikit mengeluh, protes, orientasi emosi ketika tulisannya dihambat editor atau tak berada di halaman yang dianggap pantas. Biar tak keliru, kisah yang disamarkan ini seputar dunia media cetak, dunia tarung untaian kata dan rentetan jepret kamera. Jadi sedikit bernostalGila, masa-masa jahiliah, mengejar berita, pemburu yang terburu-buru.

Ya begitulah, saat hasil karya tak mendapat respon, hampir dipastikan protes disampaikan secara verbal plus argumen, bahkan tak jarang nyaris berujung pada jep ala Mike Tyson. 

Maaf, harus tergelak dahulu. "Jancok, copet mana bisa jadi HL, Le," teriak mantan Pimred dari ruang monitornya. Maklumlah ruangan pimpinan tersebut ibarat markas spionase, memata-matai semua tulisan yang masuk dari para Jurnalis lapangan. Suara yang khas Jawa Timur itu sendiri merupakan satu bentuk kode, kuliah 4 SKS akan segera terjadi. Sedikit menggerutu, namun seakan terhipnotis masuk dalam ruangan yang sudah berkepul asap rokok.

Maklumlah, meski jelas perusahaan melarang aktivitas merokok, sebagian adam di Redaksi adalah ahli hisap, termasuk sang dedengkot Pimred. Tak ayal, ruang petapaan miliknya menjadi ruang khusus kepulan asap.

Tanpa ba bi bu, Pimred memulai ceramahannya, sedikit umpatan, sesendok perumpamaan, sebakul nasihat, esensinya adalah media cetak ini targetnya pasar menengah ke atas. Jadi, news yang disuguhkan harus memiliki kelas tersendiri. Ya, pernah menjadi bagian dari sayap media dengan moto mencerahkan dan memanusiakan manusia, itulah pasukan tempe ini.

Kata kuncinya adalah segmentasi. Oleh sebagian jurnalis dianggap sebagai batasan karya. Idealisme prajurit pun membawa debat pada komandan kolonelnya. Tentunya berakhir dengan ultimatum militer. Tepat sekali, dan sejujurnya, dari estetika dan manfaat, foto sampah atau yang berdarah-darah kurang pantas menghiasi halaman cetak. Segmentasi tidak membatasi! Namun, membuka peluang jurnalis mengasah tulisan dalam perspektif yang berbeda.

"Mau halaman 1, Le? Cari momentumnya, sesuaikan pasarnya," ujar si tetua berupaya tersenyum kapitalis. Mudahnya, andai copet di mall ternama, tentu pintu masuk yang menarik bagi kalangan menengah atas. Kriminal di lingkungan High Class mengundang kenakalan berpikir, atau si korban adalah orang penting/prominent, mungkin pejabat, seleb, dan sejenisnya, suatu yang jelas lebih marketable.

Berita tentang permukiman kumuh yang penuh sampah, tak bakalan menjadi HL. Terpikir bahwa sesungguhnya dedengkot Pimred tak hanya perfeksionis, namun seorang realis. Rezim penguasa negeri di atas awan ini tak peduli akan kekumuhan dan sampah. Namun, selalu ada cara, sambungnya, gerbang bisa terbuka jika membangun interkoneksi kereta cepat antara sampah dan penyakit yang dapat merambah seluruh komunitas. Kekumuhan menjadi picu kriminalitas yang mengancam gaya hidup, bukankah menjadi menarik bahwa kriminalitas mengancam demokrasi. Ya, selalu ada koneksi.

Konsep ini jauh dari kesan bombastis, hanya berharap setiap tulisan sebisa mungkin memberi dampak pada pembuat kebijakan, dan tentunya menarik bagi pemasang iklan di media cetak. "Memangnya kau mau makan dari mana, Le? Semuanya dari iklan," tandas Pimred. Benar, media merupakan perusahaan dengan profit oriented. Pimred sendiri terkenal cadas, antigratifikasi jurnalis, tiada ampun bagi oknum yang melakukannya.

Jika membangun bisnis media yang mapan, lanjutnya, niscaya profesi jurnalis akan jauh dari kemiskinan. Meski begitu, ia skeptis mimpi itu akan terwujud dalam waktu dekat. Sesuatu yang reasonable, ibarat kue, jika semakin besar dan banyak, bertambah juga porsi makannya. Keluhan lain jurnalis sememangnya adalah jumlah pendapatan yang minim, namun bukan alasan menjadi budak rupiah. Jurnalis itu dapat dikatakan panggilan hidup, jika ingin kekayaan jangan menjadi Jurnalis.

Kembali pada konsep bisnis media dan jurnalis, segmentasi menengah ke atas memiliki brand, trade mark, iklan penumbuh bulu atau obat kuat, haram hukumnya berada di halaman muka. Bila ingin klien berkelas, bonafit, memasang iklan di media cetak, jelas suguhan berita juga harus memiliki esensi, konteks, tampilan, yang berkelas pula. Di sini yang sering terjadi kerancuan antara kapitalisasi dan idealisme, namun sesungguhnya masing-masing memiliki porsi sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline