Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

"Jangan Bawa Kermit", Sebuah Media Katarsis

Diperbarui: 2 September 2017   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saat hari raya Idul Adha kemarin, rumah saya kedatangan anggota keluarga lainnya. Seperti biasa, obrolan ringan dan cerita-cerita mengalir hangat tiap kali kumpul keluarga. Seperti biasa pula, saya kesepian di tengah keramaian. Cukup pasang posisi anggun, tersenyum cantik, dan menjadi pendengar saja. Toh saya menikmatinya juga. Sedikit bicara, banyak mendengarkan, berikan senyum tulus. Itu sudah cukup di tengah rasa sepi yang mengepung hati saya.

Tetiba saja, Mama menawari salah satu anggota keluarga untuk membawa koleksi boneka di rumah ini. Mama memang murah hati. Tak pernah segan memberikan sesuatu untuk orang lain.

Kata anggota keluarga itu, "Boleh. Boneka yang mana? Yang hijau itu?"

Spontan saya mencegah. "Jangan bawa Kermit. Boleh bawa boneka yang mana aja, asalkan bukan Kermit dan Aurora."

Mama dan yang lainnya paham. Akhirnya Kermit tidak jadi dibawa. Entah terdorong oleh motivasi apa, saya buru-buru bangkit dan mengambil boneka hijau berbentuk katak bernama Kermit itu. Saya memeluknya, mungkin ada bentuk proteksi di balik tindakan pelukan secara refleks itu.

Dua bulan terakhir, saya memiliki perasaan sayang yang lebih pada dua di antara koleksi boneka cantik milik saya. Satu boneka dengan kombinasi warna pink dan white, satu lagi boneka hijau berbentuk katak. Boneka cantik berwarna kombinasi pink-white itu bernama Aurora. Sedangkan boneka hijau berbentuk katak itu namanya Kermit. Aurora saya letakkan di ruang tamu. Sebelum dan sesudah shalat, saya sering kali memeluk dan membelai-belainya. Sementara Kermit ada di kamar saya. Menjadi teman saya di tempat tidur. Tiap kali saya sedih, ketakutan, dan kesepian, saya peluk Kermit. Dua boneka cantik itu lebih saya sayangi dibanding koleksi boneka lainnya. Kermit dan Aurora adalah pengingat untuk saya. Meski saya sendiri yang membeli dua boneka itu, tapi namanya pemberian orang lain. Saya takkan lupa, baik itu boneka-bonekanya maupun yang memberikan nama untuk keduanya.

Saya sering merasa sulit tidur. Berjam-jam lamanya saya mencoba untuk tidur, tapi hasilnya nihil. Aurora dan Kermitlah yang ada di dekat saya. Saya peluk dan jadikan mereka sebagai pengingat di kala kesepian datang di larut malam.

Percaya atau tidak, saya sering berbicara pada Aurora dan Kermit. Saya bercerita apa saja pada mereka. Perasaan sedih, bahagia, curahan hati, kerinduan, apa pun saya ungkapkan pada mereka. Seolah Aurora dan Kermit dapat mendengar.

Sayangnya, beberapa kali air mata dan darah saya menetes di tubuh mereka. Selama masih memungkinkan, saya tak ingin menangis atau memperlihatkan luka di depan orang lain. Sebagai ganti, saya memilih menangis dan menumpahkan darah dari luka saya ke tubuh boneka-boneka kesayangan itu. Lebih aman dan tidak terdeteksi orang lain. Meski dampaknya boneka-boneka cantik itu lebih cepat kotor.

Kermit dan Aurora menjadi saksi bisu kesedihan dan luka-luka saya dua bulan terakhir. Orang-orang yang saya sayangi tak bisa selamanya terus di dekat saya. Alhasil, saya hanya punya Kermit dan Aurora.

Minggu depan perkuliahan sudah dimulai. Kemungkinan besar saya akan lebih banyak membutuhkan Kermit dan Aurora. Di kampus saya tidak punya sahabat. Jujur, saya sudah tak nyaman dengan suasana perkuliahan. Indeks prestasi bagus, tapi solidaritas nol. Individualisme begitu terasa. Terlebih mereka beda prinsip dengan saya. Mereka hanya mendekati saya bila ada butuhnya saja. Misalnya untuk diajari materi pelajaran, minta bantuan terkait motivasi, hypnotherapy, dan relasi dengan lawan jenis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline