Lihat ke Halaman Asli

Sepeda Motor Ayah Warna Merah

Diperbarui: 14 Juni 2022   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tit....Tit....Tit...." bunyi klakson mobil sedan, terdengar di depan rumahku, pada suatu pagi yang cerah dengan awan tipis dan langit biru cerah. Sedan ini  hendak menjemputku ke bandara Buluh Tumbang, di Kota Tanjungpandan. Pada hari ini, aku akan terbang dengan pesawat Merpati Airlines menuju Kota Jakarta. Lalu pada hari yang sama, aku akan langsung menuju Kota Bandung untuk kuliah di sebuah universitas swasta di kota ini.

Aku baru lulus SMA pada awal tahun 1980-an, aku sedikit beruntung dapat melanjutkan kuliah di Kota Bandung. Karena ayahku adalah seorang karyawan Perusahaan Negara (PN) Timah di Kota Tanjungpandan. 

Ayah setiap hari, pergi bekerja dengan sepeda motor warna merah kesayangannya. Motor ini selalu dilapnya,  sebelum ia berangkat kerja setiap pagi. Gaji ayah ditambah ibuku menjual pecel di depan rumah. Cukuplah untuk membiayai aku kuliah.  

Setelah mencium tangan ayah, ibu dan membelai kepala adikku yang masih duduk di SMP, lantas akupun naik ke sedan biru tua tanpa AC, dengan sopirnya yang berkumis tebal, bernama Pak Agong. Dari jendela mobil,  aku  melambaikan tangan pada ayah, ibu dan adikku yang berdiri di depan pintu. Mereka nampak sedih tapi tersenyum atas kepergianku.

Setiba di Bandung, aku mendaftar dan lalu kuliah di sebuah universitas swasta di sana. Mengambil Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen, sesuai cita-citaku semenjak SMA ini.

Aku belajar dengan serius dan tekun dan tinggal di sebuah kos sangat sederhana. Kos ini tidak jauh dari kampus, sehingga aku bisa pulang pergi berjalan kaki. Lima belas menit sampai, sehingga aku bisa menghemat biaya transportasi.

Ayah secara rutin, mengirim uang kepadaku setiap bulan untuk kuliah, untuk makan dan bayar kos selama kuliah. Ayah tidak pernah telat mengirim uang. Biasanya setelah menerima uang, aku selalu menelpon interlokal memberitahu ayah, bahwa uang kirimannya telah diterima. Aku selalu menanya:

" Bagaimana kabar ayah di Belitung ?"

"Ayah baik-baik saja, ayah baik-baik saja" jawab ayah di ujung telpon sana.

"Rizal kuliah yang rajin ya" begitu ayah selalu berpesan padaku.

Tak terasa, empat tahun pun begitu cepat berlalu. Lantas kuliah aku selesai dengan nilai cukup baik. Gelar Sarjana Ekonomi (S.E) aku raih dengan bangga. Ayah tidak hadir pada saat aku di wisuda di sebuah gedung mega di Kota Bandung,  bersama ratusan wisudawan yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline