Lihat ke Halaman Asli

Chapter 1: Sumba, Stunting, dan Makna Empati

Diperbarui: 5 Juni 2021   23:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Tikungan tajam, naik turun perbukitan, panas dan gersang, membuat saya tiga kali memuntahkan sarapan dari Kambaniru. Sebuah gambaran perjalanan darat Waingapu menuju Sumba Barat Daya dengan jarak tempuh 4 jam. Untung, Kampung Adat Praijing, Retenggaro, dan percakapan di dalamnya menyenangkan.

Mengetahui beberapa motif kain Sumba serta kisah para warga adat bertahan hidup di kesehariannya membuat segar kembali. Saya juga sempat lakukan pendekatan dengan stakeholder, mengunjungi kantor Kepala Desa yang semestinya saya mulai belajar lakukan sejak dulu, juga di Depok--untuk mengetahui apa persoalan Depok sesungguhnya dan diskusi bersama temukan solusinya.

Data KEMENKO PMK mengatakan bahwa jumlah kasus stunting di Kabupaten Sumba Barat Daya mencapai 30,1% atau jauh di atas rata-rata nasional sekitar 27%. Salah satu sebab yang membawa saya menjelajah NTT dalam rangka perjalanan dinas, melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk anak PAUD di Sumba Barat Daya.

Kesempatan ini saya gunakan juga untuk mempelajari tentang hubungan gizi dengan kecerdasan anak dengan berjejaring ke beberapa komunitas lokal atau dinas kesehatan.

Bicara soal stunting di Sumba, bukan hanya persoalan ekonomi. Mari kita ingat kembali soal sistem sosial Patriarki, sistem ini berlaku di Sumba yang bisa membuat anak mendapat giliran makan terakhir. Semisal ada lauk ayam, anak mungkin hanya mendapatkan ceker atau bagian sayap--karena ayah (laki-laki) berhak mengambil makanan pertama dan memilih bagian yang diinginkan.

Kemudian, sulitnya mendapat buah sebagai asupan serat, sehingga masyarakat Sumba hanya mengonsumsi buah yang musim sepanjang tahun: pisang dan pepaya.

Selain itu, mahalnya harga susu formula menjadi alasan bagi mereka untuk menggantinya dengan susu kental manis atau gula saja--yang mana bisa mengurangi sumber nutrisi utama seperti kalsium atau protein.

Dokumentasi Pribadi

Ikut terlibat membuat kita melihat segala sesuatu lebih bijak. Itulah yang saya rasakan setelah mendampingi PMT dan bertemu dengan suster di salah satu PAUD Desa Laga Lete.

Awalnya saya tidak yakin kalau PMT bisa membantu isu stunting. Apalagi hanya dilakukan 2-3x seminggu. Namun, setelah saya mendengar kabar baik seperti lingkar kepala, tinggi badan, dan berat badan anak yang bertambah setelah PMT, membuat saya menaruh harapan kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline