Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Para Pahlawan Indonesia, Si Jalak Hitam Otto Iskandar Dinata

Diperbarui: 16 Desember 2017   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini merupakan salah satu tugas dari kegiatan Program Keprofesian Berkelanjutan (PKB), dimana pada LK-10. Menulis di Kompasiana (2) LK OJL peserta PKB harus membuat akun kompasiana serta menulis artikel dengan topik yang telah ditentukan. Topik yang akan dikutip yaitu tentang "Sejarah Para Pahlawan Indonesia".Artikel ini dikutip dari Pidipedia.com 

Si Jalak Harupat adalah sebuah stadion olahraga yang berlokasi di desa Kopo dan Cibodas, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung. Kini stadion tersebut menjadi milik Pemerintah Kabupaten Bandung. Persikab Bandung, yang merupakan wakil Kabupaten Bandung di Liga Indonesia menjadikan stadion tersebut sebagai kandangnya. Begitu pula dengan tim sekota Persikab, Persib yang menjadikan stadion ini sebagai homebase mereka. Stadion ini dibangun mulai Januari 2003 pada saat Kabupaten Bandung dipimpin oleh bupati Obar Sobarna. Selanjutnya diresmikan pada hari jadi Kabupaten Bandung ke 364, tanggal 26 April 2005 oleh Agum Gumelar yang menjabat sebagai Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia Pusat.

Tidak banyak yang tahu bahwa nama Si Jalak Harupat diambil dari seorang pahlawan asli dari tanah sunda, Otto Iskandardinata. Keberanian menentang penjajah membuat dirinya dijuluki "Si Jalak Harupat". Beliau lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Ayah Otto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Otto adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara.

Otto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.

Dari sini, mulailah kisah lain dalam kehidupannya. Namanya lebih banyak disebut, terkait dengan kegiatannya dalam masyarakat dan perjuangan nasional. Walaupun kemudian ia masih menjadi guru di Muhammadiyah di Jakarta, tetapi kegiatan utamanya tidak lagi terletak di bidang pendidikan. Saat bertugas di Pekalongan pada tahun 1925, Otto terjun ke organisasi Budi Utomo. Aktivitasnya dalam organisasi Budi Utomo menarik perhatian masyarakat Pekalongan. Karena itulah dia dipercaya menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Pekalongan mewakili Budi Utomo.

Dipercaya sebagai anggota Dewan Kota, Otto berjuang memperbaiki kehidupan rakyat. Tanpa tedeng aling-aling, ia membeberkan praktik-praktik buruk yang dilakukan pemerintah jajahan terhadap rakyat. Kecaman-kecaman dan gugatan-gugatan yang dilancarkan Otto tidak diterima Residen Pekalongan, seorang Belanda. Tapi, Otto tidak mau mengalah. Semua anggota Dewan Kota mendukungnya. Peristiwa itu berakhir dengan dipindahkannya residen ke tempat lain.

Saat aktif di Budi Utomo, kegiatan Otto terus dimata-matai pemerintah. Rapat-rapat yang digelar di rumahnya selalu diintai oleh polisi reserse. Sadar dimata-matai, Otto malah mengajak sang reserse masuk ke rumahnya untuk mengikuti pembicaraan di dalam rapat itu, yaitu soal-soal kemasyarakatan dan perikemanusian. Setelah mendengarkan pembicaraan itu, sang reserse yakin bahwa Otto berjuang untuk kepentingan masyarakat. Konon, kemudian reserse itu menemui Otto dan memberitahukan ingin menjadi anggota Budi Utomo.

Nama Otto semakin populer. Pemerintah pun mulai cemas melihat pengaruhnya di kalangan rakyat. Karena itu, tahun 1928 ia dipindahkan dari Pekalongan ke Jakarta. Di Jakarta, Otto bekerja sebagai guru Muhammadiyah. Kegiatan di bidang politik pun diteruskannya. Ia masuk menjadi anggota Paguyuban Pasundan. Tidak lama kemudian ia terpilih menjadi ketua organisasi ini (1929-1942). Berkat pimpinan Otto, Paguyuban Pasundan semakin berkembang. Organisasi ini berhasil mendirikan sekolah dan bank.

Tahun 1930, ia terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Paguyuban Pasundan. Seperti saat menjadi anggota Dewan Kota di Pekalongan, dalam Volksraad pun Otto memperlihatkan keberaniannya mengancam pemerintah. Dia pun dijuluki "Si Jalak Harupat", yang artinya "Burung Jalak yang berani".

Otto mencoba meyakinkan Pemerintah Belanda bahwa pada suatu saat Indonesia pasti merdeka. Dalam suatu pidatonya ia berkata,"Tetapi saya percaya, bahwa Indonesia yang sekarang dijajah pasti akan merdeka. Bangsa Belanda terkenal sebagai bangsa yang berkepala dingin, hendaknya tuan-tuan bangsa Belanda memilih di antara dua kemungkinan: menarik diri dengan sukarela tetapi terhormat, atau tuan-tuan kami usir dengan kekerasan."

Karena pidatonya itu, Otto dipersilakan oleh ketua Volksraad turun dari mimbar. Otto tak kapok memperjuangkan nasib bangsanya. Dalam sidang lain, Otto kembali menyampaikan keyakinannya bahwa Indonesia akan merdeka. "Banyak orang yang mengatakan, bahwa tanpa adanya paksaan, tidak mungkin Nederland mau melepaskan Indonesia, karena memiliki Indonesia itu besar sekali manfaatnya bagi Nederland. Tetapi, biarpun banyak sekali yang mengatakan demikian, saya percaya bahwa suatu waktu bila sudah tiba waktunya, negeri Belanda tentu akan melepaskan Indonesia dengan ikhlas demi keselamatannya," papar Otto yang terakhir menjadi anggota Volksraad pada 1941.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline