Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Pertarungan Si Elang dan Si Naga di Perang Dagang Internasional

Diperbarui: 28 April 2018   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Grafis UI

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Amerika Serikat (AS) merupakan negara adidaya yang memiliki kekuatan besar di perekonomian global. Hegemoni AS di pasar global membuat banyak negara di dunia bergantung terhadap kondisi perekonomiannya. Maka dari itu, serangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah AS berpengaruh besar bagi perekonomian negara-negara lain di hampir seluruh dunia, khususnya yang memiliki ketergantungan tinggi dengan AS.

Terpilihnya presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump, tahun 2017 silam telah membuat gaya baru dalam sikap AS di perdagangan internasional. Negara Paman Sam tersebut seringkali mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversional dengan dalih untuk melindungi negaranya. 

Gaya Trump yang sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan presiden AS sebelumnya, membuat AS dianggap bukan lagi negara yang mendukung perdagangan bebas. Tindakan proteksionisme yang dilakukan oleh Trump tidak hanya mengganggu perekonomian global, melainkan juga dapat menghancurkan impian perdagagangan bebas global di masa depan.

Tindakan proteksionisme AS yang masih hangat adalah rencana kebijakan tarif impor baja dan alumunium yang membuat geram negara-negara lain. Salah satu negara yang sangat geram dan terganggu adalah Tiongkok. Negara yang perekonomiannya saat ini tengah tumbuh pesat merasakan dampak yang begitu besar akibat kebijakan AS tersebut. Kegeraman Tiongkok dinilai oleh para pelaku ekonomi dapat menggiring tindakan balasan bagi Tiongkok untuk menyentil AS. 

Para ekonom menilai bahwa apabila Tiongkok membalas tindakan nakal AS tersebut, dapat semakin memperparah ketidakstabilan perekonomian global, ditengah berbagai permasalahan global lainnya. Lalu mengapa Tiongkok merupakan lawan yang seimbang bagi AS dalam perang dagang ini? Bagaimana dampak perang dagang ini terhadap kestabilan perekonomian dunia dan impian perdagangan bebas di masa depan? Di sisi lain adakah solusi untuk mengatasi perang dagang ini?

Menilik Perekonomian Tiongkok

Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok merupakan negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat semenjak tahun 1970an. Terbukti dari data World Bank, pertumbuhan rata-rata ekonomi Tiongkok selama 56 tahun hingga tahun 2016 sebesar 8,25 persen. 

Keberhasilan Tiongkok memanfaatkan sumber daya manusia yang dimiliki dan agresifnya pembangunan di negeri tirai bambu tersebut telah mendorong negara ini menjadi pesaing terberat AS dalam perekonomian dunia. Menurut Wang Huisheng, Chairman State Development and Investment Corporation (SDIC), kemajuan Tiongkok didorong oleh tiga kunci pembangunan Tiongkok, yaitu : 1) Visi dan perencanaan pembangunan jangka panjang yang solid melalui program rencana pembangunan lima tahun yang berkesinambungan

2) Menerapkan strategi pengembangan pengetahuan dasar; 3) Adanya birokrasi yang kuat dan efektif yang dimotori oleh Partai Komunis China (PKC) sebagai partai yang berkuasa. Kemajuan Tiongkok juga dilatarbelakangi oleh produktivitas sumber daya manusia yang berakar pada nilai-nilai dasar bangsa Tiongkok dan sejarah kemajuan peradaban Tiongkok di masa lampau.

Pertumbuhan perekonomian Tiongkok yang pesat bahkan membuat Tiongkok diprediksi menjadi negara perekonomian terbesar di dunia mengalahi AS pada tahun 2030. Hal ini tentu saja membuat geram presiden AS saat ini yang tidak ingin eksistensi negaranya dikalahkan oleh negara miskin pada era perang dunia silam. Terlebih tindakan berani Trump untuk membuat perekonomiannya kembali bertumbuh pesat, sangat berdampak besar bagi ekonomi Tiongkok.

Skema Perang Dagang yang Terjadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline