Lihat ke Halaman Asli

Kang Win

Penikmat kebersamaan dan keragaman

Dinasti Giriharja dan Dunia Pedalangan

Diperbarui: 21 Maret 2021   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pakuan Pos

Adalah Abeng Sunarya yang menjadi awal dari kiprah Dinasti Giriharja dalam dunia pedalangan khususnya seni wayang golek.

Abeng Sunarya, yang kemudian lebih populer dengan panggilan Abah Sunarya, lahir pada tanggal 02 Januari 1920 di Manggahang Kec. Ciparay Kab. Bandung . Ia mulai belajar memainkan wayang golek dari  ayahnya sendiri, kemudian melanjutkan belajar kepada salah seorang dalang terkenal di Kota Bandung.

Setelah tuntas belajar Abah Sunarya tinggal di Kampung Jelekong, tidak jauh dari Manggahang tempat kelahirannya. Di Jelekong inilah Abah Sunarya mulai mengembangkan kiprahnya sebagai dalang wayang golek dengan mendirikan Lingkung Seni (LS) Giriharja, kemudian menjadi Pusaka Giriharja.

Dalam perjalanan karirnya, Abah Sunarya berhasil mencapai puncak kejayaan sebagai dalang yang sangat populer. Swedia, adalah satu negara Eropa yang sempat dia singgahi untuk mempertontonkan seni wayang golek kepada masyarakat Eropa.

Dalam kegemilangan karirnya, Abah Sunarya tidak melupakan kampung halaman. Ciparay adalah kecamatan dimana Manggahang (tempat kelahirannya) dan Jelekong (tempat awal mengembangkan karirnya) menjadi wilayahnya. (Note : kini Manggahang dan Jelekong, menjadi bagian dari Kec. Baleendah). 

Ia ungkapkan rasa terima kasih kepada kampung halamannya dengan "ngadalang" semalam suntuk setahun sekali di Alun-alun Ciparay pada malam sekitar tanggal 17 Agustus. Ini menjadi panggung yang ditunggu-tunggu masyarakat Ciparay setiap tahunnya. 

Pada saatnya tiba, seluruh pelataran alun-alun dan jalan yang mengelilinginya penuh sesak oleh masyarakat yang menyaksikan pentasnya Abah Sunarya. Selain menjadi momentum kegembiraan warga masyarakat, panggung ini juga menjadi ajang peningkatan perekononian rakyat kecil. Puluhan pedagang asongan bersuka ria di malam itu. 

Di pagi sebelumnya pasar ramai oleh warga yang berbelanja untuk persiapan bekal nonton di malam harinya. Saya masih ingat tahun 70-an setiap akan ada panggung Abah Sunarya di 17 Agustus itu, nenek saya sibuk menyiapkan perbekalan dengan membuat uras dan gorengan teri (rempeyek). Setelah Abah Sunarya meninggal tahun 1988, agenda pentas tahunan itu masih terus berlangsung dilanjutkan oleh generasi yang sekarang.

Sebagai dalang kasepuhan, Abah Sunarya adalah tokoh yang sangat dihormati. Namun rendah hati menjadi hal yang dipegangnya. Dalam puncak kepopulernya ia tetap bisa berinteraksi dengan siapapun tanpa melihat status sosial. Rumahnya selalu terbuka untuk siapapun dengan berbagai keperluan.

Saya bertemu Abah Sunarya secara langsung terakhir kali sekitar medio 80-an, saat di rumahnya Abah diadakan "salametan" ulang tahun salah seorang cucunya. Dengan kerendahan hatinya, saat itu Abah meminta saya untuk memimpin acara doa. Dengan sangat kikuk saya melaksanakan permintaan beliau.

Sebelum meninggal dunia, Abah Sunarya telah memberikan estafet giriharja kepada anak-anaknya. Setidaknya ada 5 anaknya yang berhasil menjadi dalang terkenal. Kelimanya adalah Ade Kosasih Sunarya (Giriharja 2), Asep Sunandar Sunarya (Giriharja 3), Ugan Sunagar Sunarya (Giriharja 4), Iden Subasrana Sunarya (Giriharja 5) dan Agus Supangkat Sunarya (Giriharja 6).  Di luar kelima putranya itu, salah satu adiknya yaitu Lili Adi Sunarya memegang Giriharja 1. Dalam perkembangannya Lili (Giriharja 1) lebih fokus menjadi "dalang ruwatan" dan pengembangan kerajinan wayang golek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline