Lihat ke Halaman Asli

Makna "Pendusta Agama"

Diperbarui: 15 Maret 2017   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Pendusta agama” dijelaskan oleh Al Qur’an pada surat yang ke-107 yaitu surah Al-Ma’un. Tetapi kebanyakan artikel yang ada dalam mengupas surah tersebut hanya sebatas mengenai ciri atau indikatornya saja, tidak sekalian maknanya. Kali ini saya mencoba untuk menjelaskan makna “pendusta agama” berdasarkan tafsiran Prof. Dr. Hamka.

Surah Al-Ma’un  terdiri atas tujuh ayat, yang mempunyai makna penyampaian pesan tentang kepedulian dan empati terhadap nasib orang yang kurang beruntung.  Kata Al Ma'un sendiri berarti bantuan penting atau hal-hal berguna, diambil dari ayat terakhir dari surah ini.

Tulisan ini hanya mengulas 3 ayat pertama yang berbicara mengenai indikator pendusta agama, yaitu:

(1) “Araitalladzi yukaddzibu biddiin” (Tahukah kamu orang yang mendustakan agama);

(2)  “Fa'dzaalikal ladzii yadu'ul yatiim” (Itulah orang yg menghardik anak yatim.); 

(3) “Wa laa yahudhdhu alaa tho'amil miskin” (Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.)

Prof. Dr. H. Quraish Shihab menjelaskan bahwa asbabun nuzul surat al-Maun ini sehubungan dengan kebiasaan Abu Sofyan dan Abu Jahal yang konon tiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun bukannya diberi daging oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, tetapi anak yatim itu malah dihardik dan diusir. Inilah peristiwa yang melatar belakangi turunnya surat al-Ma`un.

Surah Al-Ma’un memulai ayat pertamanya dengan satu pertanyaan, yaitu: ”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”  Itu adalah kalimat pertanyaan yang tidak harus dijawab, karena pertanyaan itu memang hanya untuk mengingatkan tentang siapa yang termasuk pendusta agama.

Kemudian Allah langsung memberi informasi dengan dua ayat berikutnya sebagai penjelasan indikator pendusta agama, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap nasib (1) anak yatim; dan (2) orang miskin.

Pada ayat kedua Allah SWT menggunakan kata “Yadu’u” yang diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi menghardik.  Sebenarnya banyak padanan kata lain yang relevan dengan kata “Yadu’u” yakni mengusir, menolak, apatis, dan dengan ungkapan keburukan lainnya yang dilakukan baik oleh lisan maupun perbuatan.  Prof. Hamka menjelaskan tentang tafsir diatas, bahwa orang yang “Yadu’ul yatim” adalah orang yang memiliki rasa benci dan apatis terhadap anak yatim.

Pada ayat ketiga, Allah SWT menjelaskan kriteria kedua yang termasuk sebagai pendusta agama.  Perhatikan kalamullah tersebut, Allah SWT menyebutkan “Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Allah SWT tidak berfirman: “Dan tidak memberi makan orang miskin” karena dua kalimat ini bermakna beda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline