Lihat ke Halaman Asli

Kartika E.H.

TERVERIFIKASI

2020 Best in Citizen Journalism

Bernostalgia dengan Kerajinan Tangan Berbahan Triplek/Plywood

Diperbarui: 4 April 2017   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Miniatur truk yang juga berfungsi sebagai kotak tisu (Gambar : @pernik banua)

Waktu duduk di bangku SD dan SMP di era 80-an sampai awal 90-an, ada salah satu mata pelajaran yang paling saya tunggu jadwal kehadirannya dibanding pelajaran-pelajaran yang lainnya, yaitu pendidikan Keterampilan. 

Saat itu, saya benar-benar dibuat terpesona oleh bapak atau ibu guru yang mengisi pelajaran. Di mata saya saat itu, mereka layaknya tokoh superhero yang bisa membuat alat atau peralatan apa saja yang dia mau dari bahan-bahan "remeh" yang ada disekitar kita. Saat itu saya beranggapan, merekalah orang-orang hebat yang sebenarnya! mereka layaknya tukang sulap yang bisa mengubah sebuah benda menjadi benda lain dalam sekejap. benar-benar serba bisa! yang secara nyata bisa saya lihat wujudnya, baik orangnya (pembuatnya) maupun produk yang dibuatnya. 

Bagaimana tidak, bapak atau ibu guru saya waktu itu dengan mudahnya bisa membuat patung kuda dari tanah yang dicampur air dari belakang sekolah, membuat pigura dari bahan lilin yang dilelehkan dan dicampur semen, membuat keset dari sampah sabut kelapa bahkan dari potongan sandal jepit bekas tidak terpakai yang diambil dari tong sampah, membuat sulak atau kemocing dari bulu ayam yang diminta dari tukang soto atau tali rafia dan yang paling membuat saya takjub adalah ketika kami saat itu diajari membuat mobil-mobilan, asbak, kap lampu, miniatur dokar, masjid, berbagai binatang sampai pistol-pistolan dari bahan triplek atau plywood bekas bahan bangunan. Hebat kan?

Proses pembuatan (Gambar : @pernikbanua)

Selain beberapa aspek diatas, ada beberapa hal seru lainnya yang membuat saya dan teman-teman saat itu jadi antusias dengan mata pelajaran ketrampilan. Khusus untuk saya pribadi, semua "kesaktian" bapak dan ibu guru saya merubah bentuk dan fungsi benda satu menjadi benda yang lainnya ini, ternyata menjadi pemicu utama dalam membangun proses berimajinasi saya. Sedangkan proses praktek pengerjaan membuat berbagai barang "rumahan" ini, ternyata juga mampu merangsang daya kreatifitas, membuka wacana wirausaha, mengasah keterampilan berkomunikasi, melatih berjiwa besar dan bertoleransi dalam kerjasama tim, serta memupuk kepekaan sosial. Terlebih, ketika tugas praktik lebih sering diberikan secara berkelompok. 

Karena lebih sering diberi tugas secara berkelompok, maka secara otomatis media tugas ketrampilan tangan ini menjadi ajang silaturahmi dengan mengenal lebih jauh masing-masing teman sekolah, mengenal keluarganya, mengetahui alamat dan lokasi rumahnya (biasanya tugas dikerjakan dirumah masing-masing anggota kelompok secara bergantian sampai selesai). 

Kerja kelompok (Gambar : @pernikbanua)

Jadinya, saat itu kalau mendapat tugas ketrampilan berekelompok, rasanya senang sekali (apalagi kalau anggota kelompok ada yang cakep...he...he....he....), setiap hari dengan berjalan kaki atau naik sepeda ontel, kami beranjangsana ke rumah teman secara bergantian di desa atau bahkan Kecamatan tetangga untuk mengerjakan tugas keterampilan. Keakraban, kepedulian dan kebersamaan yang tercipta benar-benar mengalir secara alamiah dan manfaatnya ternyata benar-benar terasa sampai sekarang, ketika kami sudah berada pada dunianya masing-masing.

Sekarang, jaman memang telah berubah! 

Konsep pendidikan keterampilan di sekolah seperti yang saya dapatkan waktu duduk di sekolah dasar dan menengah sepertinya sudah tidak populer lagi, bahkan sepertinya telah hilang dari peredaran. Sekarang anak-anak SD dan SMP hampir tidak mengenal lagi cara membuat sulak, keset atau bentuk-bentuk kretifitas lainnya (terutama di daerah saya, entah di daerah lain). 

Memang, sulak atau keset mungkin sekarang selain relatif murah dan mudah didapat juga sudah banyak industri skala besar yang membuatnya, sehingga sepertinya secara ekonomis sudah tidak layak lagi diperkenalkan (lagi) apalagi diproduksi secara masal oleh masyarakat atau mungkin karena perannya sudah tidak terlalu signifikan lagi dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, akibat munculnya berbagai produk teknologi modern yang syarat inovasi dan lebih praktis? Sehingga cara membuatnya tidak perlu lagi diajarkan kepada anak-anak penerus bangsa? Bisa jadi! 

Capung & kupu-kupu puzzle 3D (Gambar : @pernikbanua)

mungkin semua ada benarnya, tapi menurut saya bukan nilai ekonomi/uangnya saja point yang didapat dari pendidikan keterampilan, tapi pelajaran positif lain seperti yang saya sebutkan diatas, seperti merangsang daya kreatifitas, wira usaha, komunikasi, kerjasama, toleransi, kepekaan sosial dan silaturahmi yang mengalir secara alamiah masih sangat dibutuhkan oleh anak-anak jaman sekarang. 

Bernostalgia dengan berkreasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline