Lihat ke Halaman Asli

Euella Thaline

Menulis Tiada Henti

Ayahku, Cinta Pertamaku

Diperbarui: 8 Desember 2019   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku kembali merindukan sosok pria hebat dalam hidupku. Pria hebat yang karenanya aku ada di dunia ini. Pria yang dari masa kecilku begitu memanjakanku. Pria yang tak pernah lupa memberangkatkanku dengan doanya. Pria yang tidak pernah lupa memberikanku pelukan hangatnya. Pria yang tak pernah lupa membuat bekas ciuman di keningku. Pria yang selalu memberikanku semangat.

Pria yang selalu  memberi kepercayaan bahwa aku bisa. Pria yang selalu mengajarkanku untuk rendah hati. Pria yang mengajarkanku untuk terus menolong orang lemah. Pria yang dengannya aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkomunikasi. Pria yang membuat hati dan pikiranku kacau setiap aku tahu bahwa kesehatannya terganggu. Pria tampan yang pertama aku saksikan di dunia ini sejak pertama aku mengenal siapa itu pria.

Setiap wanita pasti memiliki kesan tersendiri dengan pria spesial dalam hidupnya. Namun, dalam kehidupanku, pria pertama yang menggoreskan kisah-kisah spesial dan unik dalam hidupku adalah dia, ayahku. Itulah kenapa aku selalu mengatakan bahwa ayahku adalah cinta pertamaku.

Aku menyadari bahwa ayahku bukanlah orang hebat yang memberikanku segala yang aku inginkan tetapi dia tau memberikan apa yang aku butuhkan. Aku masih ingat dengan jelas, untuk memenuhi permintaanku membelikan baju kodok jeans yang sangat  tenar pada saat masa-masa remajaku saja tidak bisa dipenuhinya.

Namun, pergi belanja ke pasar, membelikanku kebutuhan dapur dan mengantarkannya ke tempat kost ku, dia lakukan kala itu. Jarak yang cukup jauh ditempuhnya hanya untuk memastikan bahwa putri kesayangannya ini tidak kekurangan kebutuhan pokok dan terpenuhi secara gizi di kala putrinya ini mulai belajar mandiri. Aghh ayah, untuk menulis kenangan ini pun, aku tak bisa membendung airmataku.

Aku juga menyadari bahwa ayahku bukanlah orang yang romantis buat keluarganya khususnya buat kami anak-anaknya. Bahkan untuk acara tiup lilin dan potong kue pun tidak pernah sejarahnya ada dalam keluarga kami setiap anggota keluarga berulang tahun.

Namun, dia tidak pernah lupa memberikan kesan-kesan indah dalam hidupku yang sampai dewasaku saat ini selalu terkenang dalam ingatanku. Dia menciumku dan mengucapkan selamat ulang tahun di kala mataku sudah mulai terlelap di tempat tidur dan meletakkan kado kecil di sampingku.

Ayahku juga seorang yang kaku, mungkin karena terbentuk dalam dunia kerjanya sebagai ABRI. Demikian juga ke mamaku, sangat kaku dan tak kupungkiri kedisiplinan dan ke-kaku-an yang dimilikinya sering memicu konflik di keluarga kami.

Namun, dia tidak pernah kaku untuk memberikan pelukan dan membuat bekas ciuman di keningku sejak aku mulai belajar dewasa, sejak aku mulai tinggal di tempat yang berbeda dengan mereka, baik di masa-masa kuliah bahkan sampai aku sudah merantau bekerja.

Semua itu selalu dia lakukan sampai akhirnya Tuhan mempertemukanku dengan teman hidupku, yaitu menantunya, semua tugas itu dia lepaskan dan percayakan kepada teman hidupku.

Aku juga yakin dan percaya ada banyak orang yang tak menyukainya hanya karena kejujuran dan ketegasannya. Karena jaman sekarang kebanyakan orang lebih memilih diam yang penting kaya daripada bertindak tapi akhirnya miskin. Jangankan orang lain, mamaku saja terkadang tidak menyukai ketekunannya untuk tetap jujur, tegas dan berjalan dalam garis kebenaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline