Lihat ke Halaman Asli

Buka-Tutup Media Sosial untuk Apa Sih?

Diperbarui: 14 November 2022   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media Sosial | sumber: pixabay.com/Erik_Lucatero

Seringkali saya menemui saudara, kawan, tetangga, dan entah siapa pun kalau sedang nongkrong secara tidak sadar buka-tutup media sosial. Padahal tidak ada chat atau panggilan di media sosial tersebut. Sekedar menghilangkan kegabutan dan kebinguangan mau ngapain.

Meskipun sepele, perkara ini begitu memporakporandakan hati saya yang suka ngobrol dan bercerita ngalor-ngidul seputar cinta dan kehidupan. Kadang diselipi celetukan humor yang bikin terkekeh-kekeh. Sementara aktivitas buka-tutup media sosial menjadi tombok tinggi pembatas hilangnya kewarasan dan nilai-nilai sosio-kultural.

Lagian apa sih faedah buka-tutup media sosial?

Saya itu punya beragam akun media sosial aktif seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, Line, Twitter, dan Telegram. Namun saya tidak secandu kawan-kawanku yang bisa berjam-jam melototi media sosial. Buka-tutup media sosial tidak punya korelasi terhadap kekayaan dan popularitas seseorang.

Biasanya, buka media sosial hanya untuk menyempatkan buka story (WhatsApp Story atau Instastory) dari teman-temannya. Apakah mereka bahagia? Saya kira tidak, selain sifat iri dan dengki melihat kebahagiaan serta kesuksesan teman-teman kita. Lha media sosial kan memang dirancang untuk memamerkan diri, istilah kerennya wadah eksistensi.

Selain itu paling untuk menghina dalam hati atas nasib buruk yang menimpa teman kita. Misalkan ada teman yang punya pasangan berwajah jelek -cantik atau tampan itu realtif, kalau jelek itu mutlak- akan merasa jumawa dan prihatin terhadap nasib tragis kawan kita. Misal ada yang sambat di media sosial, kita juga tidak akan sempat berempati selain sikap bodo-amat pada nasib orang lain.

Oiya, buka-tutup media sosial juga dilakukan untuk cek siapa dan berapa jumlah yang menyukai dan berkomentar di postingan kita. Semakin banyak yang nge-like, ia akan bahagia dan bangga akan popularitasnya (sok kemartis). Sementara jika sepi like, ia akan galau dan gundah gulana. Apa wajahku sebegitu hinanya, kok sampai sedikitnya yang mengapresiasi dengan tombol like.

Beberapa orang yang gila like dan komentar akan menghapus postingan lama yang dianggap tidak punya engagement yang oke. Harapan dan imajinasinya ada banyak yang kepo profilnya dan melihat seberapa terkenalnya ia di media sosial. Saking gilanya popularitas, banyak yang menawarkan jasa jual-beli followers, jasa like dan komentar, hingga jasa paid promote diri sendiri.

Entah sejak kapan popularitas di media sosial menjadi sesuatu yang begitu dicita-citakan. Padahal semakin terkenal seseorang, semakin banyak masalah yang akan dihadapi. Percayalah. Mending kaya sufi-sufi yang malah suka menyepi dan menghilang dari hingar-bingar keduniawian. Ya, begitulah... Media sosial memang alat untuk ajang pamer di zaman modern.

Jadi ingat nasihat Gus Sabrang alias Noe Letto alias anak Cak Nun yang mengatakan media sosial adalah sekumpulan sampah informasi. Syukur kalau ada yang bisa didaur ulang, tapi biasanya malah menjadi file sampah di otak kita yang bikin sumpek dan menderita menjalani kehidupan. Ketergantungan pada media sosial itu malah berpotensi menghilangkan banyak kebahagiaan karena lomba memamerkan ketampanan/kecantikan, kekayaan/kemewahan, dan punya pasangan yang aduhai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline