Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Ketika Rasa Malu Menjadi Viral

Diperbarui: 8 September 2021   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber: Discover, March/April 2021, hlm. 38-39.

Rasa malu, emosi sosial kuno ini, selalu kompleks. Internet menuangkan bahan bakar di atasnya, kemudian muncul pula media sosial.

Akar Penghinaan
Lama sebelum ada internet, dalam berbagai masyarakat, orang-orang yang melanggar kode moral akan diikat ke tiang gantungan, massa akan berkumpul untuk mengejek dan mencemooh mereka, melemparkan makanan busuk ke kepala mereka bersama dengan kata-kata yang menghina.

Hukuman sekaligus tontonan ini, yang disebut pillorying (mempermalukan di depan orang banyak), dimulai lebih dari 1.000 tahun yang lalu di beberapa bagian Eropa dan berlangsung hingga abad ke-19.

Akhirnya dilarang karena dianggap terlalu kejam, Inggris sepenuhnya menghapuskan hukuman itu pada 1837, demikian pula banyak negara bagian AS pada saat itu, dan terakhir negara bagian Delaware pada 1905.

Terlepas dari apakah hukuman itu melibatkan tindakan mempermalukan di depan orang banyak atau tidak, rasa malu pada umumnya berjalan paralel dengan peradaban manusia dan tatanan sosial selama berabad-abad.

Beberapa antropolog dan psikolog evolusioner menyatakan bahwa rasa malu bersifat universal dan biologis, sebagai sebuah mekanisme yang ber-evolusi untuk memastikan kelangsungan hidup kita.

Gagasannya adalah bahwa adaptasi yang mendukung kerjasama kelompok dan saling membantu membentang sampai ke manusia purba, menurut sebuah kajian pada 2018 yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences.

Para peneliti mengisyaratkan bahwa rasa malu pada seorang individu adalah cara alami untuk "mengkodifikasi konsekuensi sosial" dari perilaku tertentu, misalnya  pencurian. Kajian tersebut menguji gagasan ini di 15 komunitas terpencil dan independen di seluruh dunia dan menemukan pola yang sama dalam masing-masing komunitas.

Mempertimbangkan bagaimana masyarakat dibangun di atas norma dan hierarki, sebuah kajian pada 2020 yang diterbitkan di Frontiers in Behavioral Neuroscience membingkai rasa malu sebagai "sebuah arsitektur penghindaran penyakit yang ber-evolusi" di mana emosi membantu melindungi individu dari keadaan sosial yang tidak diinginkan, misalnya dikucilkan dari suatu kelompok.

Kajian tersebut menyajikan beberapa bukti bahwa rasa malu mungkin terkait dengan rasa jijik, dalam hal ini, rasa jijik diarahkan pada diri sendiri sebagai sumber kontaminasi bagi kelompok tersebut.

Walaupun para ahli terus menyelidiki asal mula rasa malu, banyak psikolog kontemporer mengklasifikasikannya sebagai emosi moral yang sadar diri, yang terkait dengan perasaan tidak berdaya, tidak berharga, dan gejolak psikologis lainnya pada individu. Mungkin hal inilah yang berasal dari proses-proses tingkat kelompok dan tentu saja ada manfaatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline