Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Matematika Pandemi

Diperbarui: 17 Juni 2021   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

New Normal, sumber: https://www.solopos.com/tak-bisa-sembarangan-ini-11-indikator-daerah-bisa-terapkan-new-normal-1063458

Para pembaca sekalian, matematika yang saya sampaikan dalam artikel Matematika Pandemi ini sama sekali bukan matematika yang akan mengajak Anda untuk melakukan atau menganalisis perhitungan dengan rumus yang rumit-rumit, namun ini hanya sekadar obrolan SRI (Santai, Ringan, dan Ingat), lihat artikel saya: Simulasi PJJ bersama Anak: Topik SRI (Santai, Ringan, Ingat).

Obrolan SRI ini merupakan salah sebuah hasil pengamatan yang telah saya kompilasi selama bertahun-tahun, dan khusus untuk adik-adik yang masih bersekolah atau berkuliah, ini bisa menjadi bekal untuk digunakan dalam menyambut dan menghadapi masa depan.

Deret Hitung dan Deret Ukur
Deret yang lebih tua tentunya deret hitung ketimbang deret ukur, katakanlah ketika manusia berhitung dengan bantuan batu, yang kemudian melahirkan kalkulus. Kalkulus sendiri bermakna batu kerikil kecil (seperti yang digunakan pada sempoa).

Kemudian datanglah orang-orang serakah (tidak semuanya demikian), yang dipedomani oleh peribahasa yang mestinya dijadikan peringatan: Dikasih hati minta jantung, dan mengabaikan paruh kedua dari: Banyak pun kurang, sedikit pun cukup. Intinya, orang-orang serakah itu sangat paham bagaimana menderu keserakahan orang lain demi keuntungan diri mereka.

Orang-orang yang semula cuma tahu deret hitung: "Anakku 1 orang, 2 orang, 3 orang dst." Atau "Tabunganku sudah Rp. 1 juta, Rp. 2 juta, Rp. 3 juta dst," mulai mengalihkan deret hitung itu ke deret ukur: "Tabunganku sudah 2 x lipat, 3 x lipat, dst," karena perhitungan ini menggunakan bilangan yang lebih kecil dan lebih mudah dilakukan. Lalu apa masalahnya?

Bilangan yang lebih kecil dalam deret ukur di atas memiliki beberapa potensi.
1. Syair dari sebuah cersil yang masih saya ingat dengan baik:
Mendongak dan menunduk hati merasa puas.
Hati yang suci berkelana di angkasa.
Si pemancing ikan dipuji tinggi.
Mendapatkan ikan melupakan asalnya.

Coba kita simak tentang pertambahan jumlah anak di atas, katakanlah populasi manusia yang mendiami bumi sekarang ini sudah sekian kali lipat dibanding sekian dekade yang lalu, namun bukankah manusia itu dilahirkan SATU DEMI SATU (kecuali yang kembar)?
 
2. Menjadikan pengguna deret ukur kehilangan rasa syukur, misalnya dari yang tadinya memiliki tabungan Rp. 1 juta, dan sekarang Rp. 2 juta, tidak mensyukuri bahwa tabungannya sudah bertambah Rp. 1 juta (Rp. 1.000.000), tapi malah merasa kurang puas karena tabungan itu hanya meningkat menjadi 2 kali lipat.

3. Lebih lanjut menderu keserakahan sampai orang tidak lagi mengindahkan moralitas dalam mengejar "x lipat."
Dalam beberapa artikel saya sebelumnya, saya menyebutkan bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang itu salah, semua orang menganggap dirinya benar di bawah situasi dan kondisi masing-masing, dan saya juga tidak mencap bahwa deret ukur itu salah, selama ia belum memasuki wilayah keserakahan yang bisa mencelakakan umat manusia itu sendiri. Lihat artikel saya: Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1.

Bukan hanya deret ukur, malahan perhitungan logaritmik yang "baik" kita gunakan dalam kehidupan kita, misalnya skala Richter:
Gempa di kota A dan B masing-masing berkekuatan 9 dan 6 pada skala Richter. Skala Richter digunakan selain untuk menggunakan bilangan yang lebih kecil, juga agar orang tidak mudah panik, karena kekuatan gampa di kota A adalah 1.000 x lipat kota B!

4. Penggunaan deret ukur akan membuat kita semakin cepat mentok.
Pada 1965, Gordon Moore menginvensi Hukum Moore yang menyatakan bahwa jumlah transistor dalam sirkuit terpadu (IC) padat menjadi dobel, 2 x lipat, kira-kira setiap 2 tahun.

Hukum inilah yang memicu penelitian dan pengembangan prosesor yang melampaui skala mikro dan memasuki skala nano, dengan semakin tak terhitung jumlah transistor yang berdesak-desakan dalam IC. Ini akan mentok, dan sekarang orang mulai menjajaki Komputasi Kuantum (Quantum Computing). Lihat saja bagaimana perkembangan Hukum Moore ini sekarang.

Jensen Huang tidak mau kalah keren dengan Gordon Moore, pada 2018 dia melakukan pengamatan yang melahirkan Hukum Huang: Kemajuan dalam unit pemrosesan grafis (GPU) tumbuh pada tingkat yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan unit pemrosesan sentral (CPU) tradisional. Tanggapan singkat saya: mentoknya juga akan lebih cepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline