Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Kalau Kail Panjang Sejengkal, Jangan _____ Laut Hendak Diduga

Diperbarui: 24 April 2021   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diadaptasi dari: https://www.researchgate.net/figure/Schematic-representation-of-a-hull-mounted-active-sonar-system_fig1_319400174

Peribahasa Indonesia "Kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga" bermakna: kalau belum mempunyai banyak ilmu pengetahuan/pengalaman jangan dicoba berlawanan dengan orang yang pandai.

Di Malaysia, kata "laut" pada peribahasa ini diberi berakhiran "an."
Salah sebuah maknanya:
Jangan melakukan sesuatu pekerjaan yang di luar kemampuan atau kepakaran kita. Sebaiknya kenali dan selidiki dahulu kapasitas diri sebelum hendak melakukan sesuatu tindakan terutama jika itu bukan bidang kita (diadaptasi dari: Urusinsan).

Sejak masih di SMP, saya menyimpulkan bahwa penggunaan kata "kail"  dalam peribahasa agak bermasalah, karena kail adalah sekerat kawat yang ujungnya berkait dan tajam, digunakan untuk menangkap ikan (KBBI) dan saya belum pernah melihat ada orang mengukur kedalaman laut dengan kail, bahkan dengan benang pancing sekali pun, dan sekarang hal ini dilakukan dengan sistem sonar.

Pada zaman now ini, peribahasa tersebut tambah bermasalah.
Taruhlah paruh pertamanya, "Kalau kail panjang sejengkal" masih bisa kita gunakan karena peribahasa ini sendiri sudah menjadi bagian dari khazanah bahasa kita (walau berpotensi menimbulkan kesulitan dalam  menjelaskannya kepada anak-anak yang jeli dan kritis), akan tetapi paruh keduanya, "jangan laut hendak diduga" sudah mengalami reduksi, pendangkalan, atau penyempitan makna. Mengapa saya katakan demikian?

Dengan informasi yang bisa disebarkan bagaikan cahaya dan hanya bermodalkan jempol atau ditambah dengan jari lain, "jangan melakukan sesuatu pekerjaan yang di luar kemampuan atau kepakaran kita" sudah hampir tidak diperhatikan lagi. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya:
1. Biaya yang murah, apalagi jika di tempat berwifi, gratis.
2. Keisengan (karena tak kena biaya dan/atau kurang kerjaan), kebelumtahuan si pengirim yang membuatnya tidak mampu memverifikasi informasi, dan semangat yang berlebihan untuk "sharing kepada teman-teman."

Kepada orang-orang seperti si pengirim ini, saya rasa perlu diberi nasehat dengan peribahasa di atas, yang dimodifikasi menjadi "Kalau kail panjang sejengkal, jangan ceritakan laut hendak kau duga." Jadi jangankan pekerjaan menduga lautnya, menceritakan pun jangan, kalau tidak punya kemampuan.

Saya pernah beberapa kali dikirimi informasi seperti ini, bahkan oleh rekan sesama apoteker, bahkan 1 informasi yang sama bisa dikirimkan oleh beberapa orang.

Kasus 1: Keracunan akibat memakan udang bersamaan dengan vitamin C.

Saya balas:
Lain kali tolong jangan teruskan informasi ke saya, kalau informasinya dari kamu sendiri tidak apa-apa. Saya kesal, karena beberapa teman lain juga sudah mengirimi saya informasi yang sama.

Lalu saya berikan penjelasan yang membuka mata si pengirim atau setidaknya mengingatkan dia tentang apa yang kami sama-sama pernah pelajari.

Benar, di dalam tubuh udang terdapat kontaminan berupa Arsen pentoksida, tapi konsentrasinya dalam µg! Jika Arsen pentoksida bereaksi dengan vitamin C, ia akan direduksi menjadi Arsen trioksida yang toksik, tapi apakah kamu tahu persis konsentrasinya dengan analisis kuantitatif? terus berapa dosis letal Arsen trioksida? atau singkatnya hasil reaksi dari berapa kilo udang dan berapa ons vitamin C* yang bisa langsung mematikan manusia? atau, sudah berapa besar angka mortalitas akibat makan udang bersamaan dengan vitamin C?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline