Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Disrupsi Jurnalistik

Diperbarui: 18 Maret 2018   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: Pixabay)

Kita beriman pada pers yang merdeka tapi secara profesional bertanggung jawab terhadap laku, kerja, dan karyanya. Mereka adalah salah satu dari 4 pilar yang menjamin tegaknya demokrasi di tengah kehidupan masyarakat madani.

Tapi, dalam jangka waktu kurang dari 2 dasawarsa yang terakhir, zaman telah mengalami perubahan yang amat pesat. Yakni ketika 'internet of things' melanda dan meluluh-lantakkan prilaku dan budaya yang sebelumnya merupakan bagian dari tradisi kehidupan sehari-hari. Menekuni dan mengaku sebagai profesional di bidang tertentu --- yang sebelumnya perlu melalui proses 'sakral', 'berjenjang', bahkan 'bertele-tele' --- semakin dimungkinkan sekaligus dimudahkan. Dalam kehidupan pasar yang semakin 'terbuka' luas dan sangat 'bebas' sekarang, 'sertifikasi' profesi menjadi semakin tak berperan dan kehilangan makna. Kecuali pada wilayah dimana otorisasi kekuasaan masih memiliki pengaruh yang menentukan.

Fenomena 'disruptif' itu juga berlangsung di dunia jurnalistik. Teknologi digital kini memungkinkan siapapun memainkan peran apapun. Setiap anggota masyarakat 'bisa' melakukan kerja jurnalistik. Meliput dan mengabarkan segala sesuatu yang diinginkannya sehingga jagad raya kita bukan hanya kebanjiran 'informasi', tapi juga 'berita'. Bedanya, mereka tak peka --- bahkan mungkin tak peduli --- dengan prinsip, kaidah, maupun standar profesionalisme jurnalistik yang sebelumnya berlaku, agar marwah sebagai bagian dari pilar-pilar demokrasi tadi, tetap terpelihara.

+++

Di awal tahun 1990-an, 'informasi' dan 'berita' itu dipisahkan tegas oleh jurang 'subversif'. Media televisi swasta pertama Indonesia, RCTI, dilarang Undang-Undang  memproduksi dan menayangkan warta berita. Hal yang kemudian terjadi adalah penyiasatan istilah untuk melegalisasi Seputar Indonesia. Tayangan yang memuat 'berita' Tanah Air dan sesekali manca negara tersebut --- mengudara setiap hari selama 30 menit pada jam 18:30 malam --- dengan sebutan 'program informasi'. Oleh sebab itu, awak yang bekerja di sana tak harus mengantongi kartu anggota Persatuan Wartawan Indonesia. Mereka semua seolah bekerja sebagai 'jurnalis abal-abal', karena keberadaannya tak dikukuhkan melalui sertifikasi profesi wartawan yang saat itu resmi diakui Negara.

+++

Kemudahan, kebebasan, dan kemerdekaan yang ditawarkan 'internet of things' telah mendistorsi pemahaman publik tentang definisi maupun makna profesionalisme jurnalistik. Sayangnya, pemangku yang paling berkepentingan di sana, juga 'terjebak' pada zona nyaman masa lalu dan kegamangannya. Mereka tergagap-gagap, tak melakukan persiapan memadai dan semestinya, untuk mentransformasi dunia profesi yang ditekuni. Situasi yang saat itu berkembang memang kikuk dan serba salah. Sejalan dengan euforia demokratisasi yang sedang melanda, segala bentuk yang mengarah ataupun diduga proteksionisme, seolah menjadi musuh bersama dan siapa saja.

Kita semua memaklumi jika hari ini, aneka berita bisa tiba kapan saja, dimana saja, dan bagi siapa saja, melalui perangkat telepon genggam dan berbagai gawai personal lain yang dimiliki hampir setiap masyarakat. Koran dan majalah telah lama menjadi masa lalu dan sedang menuju kepunahan total. Berita di televisi-pun sedang mengalami proses yang sama. Sebab, segala sesuatu yang melatar belakangi kehadiran media-media itu, semakin tersedia di dunia maya dengan cara yang jauh lebih mudah, murah, dan nyaman, sesuai dengan preferensi personal masing-masing.

Tapi yang sesungguhnya paling mengerikan, justru apa yang terjadi pada pergeseran preferensi, prilaku, dan pola 'konsumsi' masyarakat pada karya jurnalistik. Banjir informasi yang kini berlimpah ruah, semakin memungkinkan siapa saja mencari, menemukan, bahkan menyeleksi hal-hal yang sesuai dengan subyektifitas minat pribadinya. Berita yang terkait dengan keberadaan maupun isi 'ruang demokrasi sosial' dimana semua, atau sebagian besar masyarakat penghuninya, bertemu dan mengelola keberagaman dalam kebersamaan, semakin tersisih. Apalagi ketika mereka yang berprofesi memelihara, mengelola, dan mengembangkan 'ruang demokrasi sosial' itu tidak amanah bahkan mengkomersialisasikannya dengan cara berkhianat, menyalah gunakan, dan mengeksploitasi 'ruang' itu, demi kepentingan sempit pribadi maupun golongan atau kelompoknya.

+++

'Internet of things' cenderung menggiring siapa pun, menjadi semakin sibuk dengan dirinya sendiri. Merangsang gairah dan menjadikan insan manusia lebih individualis --- bahkan egois --- dibanding sosok-sosok kehidupan di era teknologi analog lampau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline