Lihat ke Halaman Asli

Kalkun

Diperbarui: 18 Agustus 2015   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Berapa kali harus diingatkan! Saya jijik melihat darah segar! Barang setetes pun! Bahkan darah nyamuk sekali pun!”

Nada lelaki cebol itu terdengar marah. Namun, kedua bola mata yang biasanya meronta ingin dikeluarkan saat marah, kali ini terpaksa harus disembunyikan di balik jemarinya.

Perempuan yang sama cebolnya hanya melirik. Menyungging senyum sinis, pertanda kesal. Ia lalu berkilah dengan pernyataan tentang suasana di luar bahwa angin semakin kencang, tentunya rintik hujan semakin deras.

Lelaki itu sepertinya tak paham dan tak ingin memahami, “Pokoknya, saya tak mau melihat! Apalagi mendekat!” ia membentak.

“Bukankah aliran air semakin deras? Semua sudah hanyut! Lagi pula di luar gelap, kamu tak akan melihat! Cepat ke sini! Atau...” si perempuan balas membentak dengan isyarat mengancam sebagai penutup.

Tentu saja si lelaki mengerti ke arah mana ancaman tersebut. Selama hidup bersamanya, hanya dua hal yang paling dibencinya. Keduanya berhubungan dengan jatah. Meja makan dan atau ranjang. Dan ia sama sekali tak ingin kehilangan salah satu, apalagi keduanya. Maka, dengan sangat terpaksa, ia pun mendekat. Kedua tangannya masih saja rapat di muka.

“Lihatlah, semua sudah bersih. Kamu tinggal membawanya ke dalam.” Tapi, perempuan itu sepertinya semakin kesal, “Buka matamu!”

“Tidak, saya tidak ingin membukanya!”

“Lalu bagaimana kamu membawanya jika kedua tanganmu masih di situ?” ia kembali membentak. “Cepat buka, lalu bereskan! Atau...”

Ancaman yang sama. Sekali lagi, lelaki itu terpaksa menurut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline