Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

"Big Bad Wolf", Ketika Pengunjung Kalap Memborong Buku

Diperbarui: 10 Maret 2019   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gate masuk pameran buku (dok pribadi)

Seumur-umur baru kali ini saya melihat begitu banyak orang pada kalap memborong buku. Satu orang bisa mendorong troli ukuran besar yang biasa dipakai di pasar swalayan, terisi penuh dengan tumpukan buku, yang saya taksir jumlahnya tidak kurang dari 80 buku.

Ya, kalau buku tersebut mau dibaca sendiri, kalau pakai ukuran saya, baru bisa terlahap semuanya itu selama setahun. Tapi, tempat orang-orang kalap membeli buku tersebut memang merupakan ajang khusus setiap tahunnya, yang bernama Big Bad Wolf.

Itulah yang terjadi di pamaren buku yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia yang berlangsung di Indonesia Cenvention Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, tak terlalu jauh dari pusat kota Jakarta bila lewat jalan tol. 

Paling tidak, meskipun menurut hasil survei, kemampuan membaca buku masyarakat Indonesia tergolong rendah, gambaran yang saya saksikan secara langsung itu menerbitkan harapan bahwa tetap ada yang berhasrat besar membeli buku berbentuk fisik ditengah gempuran e-book saat ini.

Antri masuk (dok pribadi)

Saya datang ke Big Bad Wolf pada Sabtu siang sampai sekitar magrib, 9 Maret 2019, kemarin. Dari saat masuk halaman luar ICE saja sudah terasa antusiasme pengunjung. Apalagi begitu memasuki gerbang masuk di Gate 7, ada antrian lumayan panjang.

Hanya satu pintu masuk yakni di Gate 7 itu tadi, meskipun pameran buku tersebut mengokupasi gate 7, 8, dan 9. Sedangkan gate 5 dipakai untuk tempat beribadah bagi pengunjung yang mau menunaikan ibadah salat.

Sesak di lorong (dok pribadi)

Adapun bagi pengunjung yang kelaparan, di salah satu sisi ruang pameran disediakan food court yang terdiri dari sekitar 25 tenda penjual makanan dan minuman. Tidak ada nama gerai makanan dari waralaba terkenal, namun makanan yang dugaan saya berasal dari pedagang kecil yang diseleksi panitia, cukup nikmat dan bersih.

Tentu harga makanannya sedikit di atas harga kalau kita makan di tenda pinggir jalan. Wajar, namanya juga acara khusus. Hanya saja pengunjung tak bisa menggunakan uang kas bila makan di sini, harus punya uang elektronik dari bank sponsor atau membeli kartu khusus yang diisi sejumlah uang tunai di kasir, lalu kartu itu yang digesek pedagang makanan. 

Setelah selesai makan, bila kartu yang kita punya masih ada saldonya, bisa di refund ke kasir. Ada bagusnya juga sistem ini, di samping lebih jelas pertanggungjawabannya dari pedagang ke panitia, pedagang dan pembeli makin terbiasa dengan transaski cashless.

Food court (dok pribadi)

Namun untuk pembelian buku, ada dua pilihan, meja kasir 1 sampai kasir 12 buat yang menggunakan kartu, dan kasir 13 sampai24 buat yang membayar tunai. O ya kasirnya memang lumayan banyak, itupun masih diantre banyak pembeli sampai mengular panjang.

Memang harga murah menjadi daya tarik utama kenapa demikian bayak orang yang kalap membeli buku. Rata-rata harganya separo ketimbang harga resmi di toko buku. Apalagi untuk buku-buku berbahasa asing, terasa sekali murahnya, bisa sepertiga harga asli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline