Lihat ke Halaman Asli

Irwan E. Siregar

Bebas Berkreasi

Sempit

Diperbarui: 7 Mei 2023   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani sayur di Riau. (Foto: tribun pekanbaru)

PASANGAN calon bupati Indragirihulu, Yopi-Harman punya trik yang jitu dalam menarik simpati masyarakat. Saat diundang dalam acara silaturrahmi, Selasa kemarin, mereka mengajak masyarakat untuk menggiatkan pertanian, sehingga tak lagi hanya menjadi konsumen semata. Kekayaan alam yang cukup menjanjikan di daerah itu, katanya, dapat membuat mereka swasembada pangan.

Ucapan ini membuat saya jadi teringat kembali dengan cerita seorang teman. Katanya, satu provinsi tetangga pernah mengancam tak akan mengirim beras ke Riau. Ancaman tersebut, jika benar-benar terjadi, alamat membuat masyarakat di sini akan menderita kelaparan. Maklum saja, Riau yang kaya dengan minyak, ternyata waktu itu tak memiliki lahan persawahan.

Selain beras, rupanya Riau juga sangat bergantung kepada provinsi tetangga tersebut untuk komoditi sayur-sayuran. Jadi, tanpa embargo sekali pun, jika sarana transportasi ke sana sedang mengalami gangguan, maka tetap akan membuat warga Riau kelimpungan. Secara otomatis harga bahan makanan akan naik dan sulit didapatkan.

Tatkala hubungan dengan Sumatera Utara dapat diperingkas melalui jalur Lintas Timur, warga Riau pun bisa terbantu sedikit dengan masuknya bahan pangan dari sana. Bahan makanan jadi semakin mudah diperoleh, dan harganya pun menjadi relatif lebih murah.

Nah, sekitar lima tahun lalu orang seakan tersentak mendengar Riau telah berhasil mengekspor sayur ke Singapura. Lebih mengejutkan lagi, sayur tersebut bukan berasal dari luar kota. Tapi dibudidayakan di tengah kota Pekanbaru yang telah padat penduduk dan terbilang gersang itu.

Keberhasilan menghasilkan sayur unggulan dengan kualitas ekspor tersebut tentu saja membuat orang menjadi bertanya-tanya. Mengapa selama ini Riau sangat tergantung bahan pangannya dari luar provinsi. Padahal, jika dikerjakan secara sungguh-sungguh, lahan gambut yang marginal pun dapat menghasilkan aneka tanaman yang subur dan segar.

Boleh jadi warga asli Riau memang lebih banyak memilih pekerjaan sebagai nelayan, sehingga mereka tak memiliki keahlian bertani. Itu makanya, begitu masuk kaum pedatang dari Jawa maupun Sumatera Utara, lahan yang selama ini dibiarkan terlantar, langsung mereka olah. Jika pendatang dari Jawa lebih suka menanam sayuran, pendatang dari Sumatera Utara justru bekerja banting tulang menyulap rawa-rawa menjadi lahan pertanian.

Maka, jangan heran jika kemudian terungkap bahwa beras Leidong yang terkenal karena rasanya yang enak itu rupanya berasal dari petani di Rokanhilir. Cukong beras dari provinsi tetangga itu memborong seluruh gabah petani, mengolahnya jadi beras, kemudian dikarungkan dengan merek beras Leidong, Sumatera Utara.

Sayangnya, hingga kini perhatian pemerintah kabupaten maupun provinsi terhadap komoditas pertanian itu terkesan masih mendua. Boleh jadi, sikap tersebut terjadi karena para petani umumnya bukanlah putera daerah. Indikasinya memang bisa terlihat dari demikian besarnya perhatian dan dana yang dikucurkan untuk para nelayan di sungai maupun pantai. Sampai-sampai nelayan di Pelalawan, misalnya, diberi bantuan sapi peliharaan. Siapa tahu bisa untuk membajak sungai.

Jika masih berpandangan sempit seperti itu, tekad Riau untuk menjadi kawasan yang termaju di rantau ini, hampaknya akan terganjal. Bahkan, tetap menggantungkan bahan makanan dari luar juga tak menguntungkan. Sebab, dana yang ada di sini sebagian akan tersedot untuk membeli bahan makanan dari luar. Sementara masyarakat petani setempat yang mengharapkan bantuan dana dan pemasaran hasil produksi tak kunjung diperhatikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline