Wacana tentang pemimpin menarik untuk dikaji, sebab sebentar lagi ada pemilu presiden dan wakil rakyat akan bertarung untuk mendapatkan jatah kursi di puncak kekuasaan dan parlemen . Pencarian pemimpin menjadi rebutan, paling tidak ditujukan untuk publik yang mana perlu dipilih, salah satu indikatornya adalah mampu merealisasikan ''Good Governance'' dan ''Clean.
Nalar publik selalu bertumpu pada nilai karakter, seperti kebersihan diri dari kasus korupsi, terbukti dapat menjalankan harmonisasi rumah tangga, dan selalu empati dan simpati pada rakyat kebanyakan, dalam bentuk keberpihakan pada rakyat miskin.
Dikoridor itu, benar adanya, bahwa pemimpin akan menjadi besar kalau mau membantu orang lain, lebih-lebih mensejahterakan rakyat,khususnya membuat rakyat miskin lebih sejahtera.
Zig Ziglar, motivator ulung, menulis dengan rapi "Anda bisa memiliki semua hal yang Anda inginkan dalam kehidupan jika Anda bersedia membantu orang lain mencapai apa yang mereka mau". Inilah sebenarnya yang harus diresapi untuk menjadi seorang pemimpin baik di daerah maupun di pusat.
Permasalahan yang muncul saat ini, adalah (1) Para pemimpin biasanya senang mengobral janji, namun jarang yang menepatinya, (2) Para pemimpin yang sedang menjabat dari benar-benar kemaruk akan kekuasaan, tidak sedikit langsung terjerumus menjadi kaki tangan kekuasaan dan masuk penjara. Artinya kekuasaan kerap menjadi jalan mulus ke ruang terali besi, (3) Orang tidak pernah memiliki idealisme dalam memperjuangkan nasib rakyat, yang sering diperjuangkan adalah kepentingan diri dan kelompok (4) masalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih meraja-lela, masalah mafia hukum dan mafia pajak, masalah penegakkan hukum yang tebang pilih, dan lain-lain, (5) Dan kini, Indonesia memerlukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang bersih, amanah dan berwibawa, yang mengabdi untuk seluruh rakyat, bukan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, partai dan golongan, memupuk kekayaan sebagaimana yang kerap muncul selama ini.
Dalam dimensi itulah, kita bisa mencermati 'tesis' tentang kepemimpinan yang dikemukakan oleh gaya kepemimpinan yang diusulkan oleh Apter (1965) dalam The Politics of Modernization, mengatakan bahwa pluralitas dan kolektif sakral. Kini, kedua calon presiden seakan berada dalam kompetisi di dua kutub itu.
Kolektif sakral adalah kolektivitas mobilisasi kehendak. Liberatian dan kolektivitas kerap tertatih-tatih di wilayah baru belajar dan menerapakan model demokrasi, kondisi ini semakin belum gayut ketika masyarakat kehilangan basis religiusitasnya dan menghamba pada materialisme, akibatnya masyarakat kita terancam untuk menjadi sebuah sistem penjarah terorganisasi terhadap demokrasi dimana makna diturunkan dari perolehan pribadi, ketertiban yang ada sekedar pemenjaraan anarki dan dimensi kemanusiaan menjadi paradok, sehingi ga pencapain pembangunan politik saat ini tidak lebih dari sekedar ke arah nilai fungsional individu semata.
Di terminal itu, pemimpin, yang selalu mementingkan dirinya sendiri atau kelompokknya karena kemaruk kekuasaan memiliki kaki pendek, dan kebenaran hukum segera akan dapat mengejarnya.
Oleh sebab itu teori pemimpinnya Apter dengan sistem pluralistiknya akan terus berdengung di zaman serba digital ini. Konsepsinya itu sesungguhnya telah lama ada, seiring dan sejalan dengan konsep Kautilya Arthasastra , sebuah tradisi sastra Hindu dalam kekuasaan Negara, yang menyebutkan bahwa tujuan proses kepemimpinan adalah sejatinya terungkap dengan indah "apa yang membuat raja senang bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah kesenangan seorang raja".
Implikasi dari pernyataan ini bahwa tujuan dan makna kesuksesan sebuah proses kepemimpinan adalah apabila tercipta kesejahteraan bagi seluruh anggota organisasi, bahkan lebih luas adalah kebahagiaan dunia (sukanikang rat) atau nampaknya itu tetap berada ditataran bibir, bila kaki pemimpin kita, bertindak lain. Akibatnya, idealisme untuk mensejahterakan rakyat tetap berada di tataran ideal, tak pernah ada dalam kenyataan
Kondisi sukanikang rat ini telah lama tergurat rapi dalam konsepsi yang dikemukakan oleh 'Gajah Mada' pada zaman Majapahit, ketika merealisasikan sumpah palapanya dalam wujud konsep abhikamika.