Lihat ke Halaman Asli

Menegakkan Parlemen Limbung

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Intsiawati Ayus

www.blog.intsiawati.com DEMOKRASI di Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman serius. Bertubi-tubi kasus memalukan yang terungkap di DPR telah menciptakan krisis kepercayaan bahkan kekecewaan publik yang mendalam terhadap lembaga legislatif tersebut. Bahkan lembaga negara ini seringkali tampak lebih mendahulukan isu tentang hak-haknya ketimbang kepentingan rakyat.

Jika kita sekali lagi kritis menelisik sistem parlemen negeri tercinta ini maka senyatanya asal-muasal segala masalah itu berawal dari anomali dalam sistem pembagian kekuasaan legislatif. Konstitusi negara saat ini cenderung inkonsisten dan tidak melembagakan adanya prinsip saling mengawasi secara seimbang antar cabang kekuasaan. Pembentukan perundang-undangan juga cenderung meneguhkan monopoli kewenangan DPR di parlemen. Tak heran, jika kemudian terbuka peluang terhadap beragam bentuk abuse of power dan suburnya praktek mafia.

Berapa banyak kasus-kasus kontroversial yang merugikan bangsa dan negara baik secara moril maupun materil akhirnya hanya berujung pada kompromi politik belaka. Lahirnya keputusan dan pernyataan elit yang bertentangan dengan kehendak rakyat meneguhkan sinyalemen oligarki parpol yang jelas-jelas melapukkan fondasi demokrasi. Parpol-parpol di parlemen kini terjebak politik transaksi untuk saling mencari kesalahan dan atau saling memproteksi kesalahan guna menjaga kelangsungan eksistensi elit politik dalam kancah kekuasaan nasional.

Realitas empiris menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi kelumpuhan sistem checks & balances yang akut dalam sistem parlemen. Desain dan proses politik Indonesia saat ini secara formal masih didominasi secara penuh oleh mereka yang duduk di kursi DPR. Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya proses ‘saling imbang saling kontrol’ sehingga daulat rakyat-lah yang dimenangkan karena di sanalah sumber legitimasi tersebut.

Krisis kepercayaan publik yang terjadi saat ini merupakan efek dari sistem parlemen yang limbung. Prinsip checks and balances dinafikan sehingga salah satu kamar parlemen nasional menjadi monopolistik dalam kebijakan. Alhasil, kamar tersebut kemudian menjadi sarang masalah yang meruntuhkan stabilitas bernegara dan perusak bagi tatanan yang telah dibangunnya sendiri.

Sharing Kewenangan Parlemen
Dengan demikian, jelaslah bahwa dorongan untuk mendudukkan para wakil daerah (DPD) pada porsi selayaknya bukanlah untuk kepentingan sepihak tapi merupakan bagian dari rasionalitas demokrasi. Di samping prinsip persamaan hak dan kesetaraan, fakta politik telah menunjukkan bahwa sistem parlemen dua kamar yang seimbang dibutuhkan guna menciptakan fondasi bernegara yang lebih kukuh serta pemerintahan yang lebih terjaga integritasnya.

Di sisi lain, upaya penyeimbangan parlemen juga terkait penguatan lembaga legislatif guna mendukung kinerja yang lebih efektif. Sebagaimana diketahui kinerja legislasi DPR sejauh ini begitu amat rendahnya. Target rancangan UU yang tercapai masih jauh dari program legislasi yang dicanangkan. Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi (3/04) pernah melontarkan kritik bahwa anggota DPR mulai dari 2004 sampai sekarang belum banyak menghasilkan sesuatu untuk Indonesia. Adhie bahkan menantang untuk menunjukkan UU mana yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin kompleks saat ini semakin membutuhkan badan legislatif yang berfungsi lebih efektif dan maksimal. Wakil rakyat (DPR) dan wakil daerah (DPD) sudah saatnya membangun kebersamaan. Dengan adanya sharing kewenangan, DPD bisa bersinergi dengan DPR secara signifikan dalam meningkatkan produktifitas Undang-Undang di parlemen terutama terkait legislasi yang berimplikasi langsung terhadap hubungan pusat-daerah, persoalan otonomi daerah, pengawasan, serta anggaran daerah.

Mengawal Otonomi dan Fiskal Daerah
Lemahnya upaya dan kinerja DPR dalam mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan lokal dalam berbagai kebijakan nasional juga turut menciptakan kekecewaan yang berkepanjangan dari daerah-daerah. Sementara itu, Meski terpenjara batas kewenangan, kehadiran DPD selama ini telah mengisi berbagai peran yang dibutuhkan daerah serta telah memberikan banyak makna bagi keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. DPD selama ini senantiasa berkomitmen dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan daerah dalam proses penyusunan legislasi.

Upaya-upaya mediasi konflik lokal, penyerapan dan dukungan aspirasi, serta dalam membuka ruang akses daerah terhadap pengambil kebijakan di pusat adalah di antara peran-peran nyata yang dijalankan DPD selama ini. DPD juga telah berhasil memperjelas kedudukannya sebagai representasi wilayah melalui kemitraan kerja yang harmonis dengan seluruh entitas daerah.
Sebagai pengawal wilayah atau teritorial, DPD RI selama ini dituntut untuk lebih menguasai persoalan yang dihadapi daerah. DPD memiliki tugas dan kewajiban yang relatif besar untuk mendorong kemajuan daerah dan membantu realisasi desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu ke depan, perlu dirumuskan adanya rumusan pelaksanaan fungsi anggaran yang melibatkan DPD.

Urusan fiskal nasional dan fiskal daerah selayaknya dilakukan split pembahasan; fiskal nasional adalah ranah DPR sedangkan fiskal daerah selayaknya menjadi ranah DPD. Dengan begitu, DPD yang juga terlibat dalam Musrembang dapat secara langsung berperan mewakili daerah dalam perdebatan pembahasan anggaran nasional mengenai mana anggaran yang akan dibiayai melalui APBN atau APBD. DPD juga menjadi pengawas langsung terhadap fungsi alokasi dan distribusi terhadap Dana Transfer di daerah sehingga bisa mencegah dan meminimalisir terjadinya mafia anggaran dan korupsi di daerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline