Lihat ke Halaman Asli

indrawan miga

penulis, pendidik, petani

Salah Persepsi tentang Sekolah Inklusi

Diperbarui: 24 Agustus 2019   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan outdoor baik bagi siswa inklusi, seperti jelajah alam/hiking oleh siswa sekolah Semut-Semut, di Cibodas, Agustus 2019.   Foto: SD Semut-Semut

Salut dan hormat untuk sekolah yang telah berani melaksanakan program inklusif, dengan menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) baik di jenjang TK, SD, SMP hingga SMA.  

Sebagai contoh, Pemkot Depok dalam tahun ajaran 2019/20 misalnya, telah menetapkan ada 130 sekolah inklusi di berbagai jenjang yang melaksanakan program inklusif, yaitu 11 SD negeri, 79 SD swasta, 3 SMP negeri, dan 37 SMP swasta. 

Program inklusif ini kini telah berkembang di berbagai wilayah Indonesia dengan perkembangan yang sangat pesat. Dan pemerintah terus mendorong agar lebih makin banyak sekolah reguler yang menerima siswa inklusif. 

PENDIDIKAN INKLUSIF 

Pendidikan inklusif berarti, bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Sekolah, guru, orangtua, dan siswa reguler merespon keanekaragaman peserta didik secara nyaman, dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar daripada melihatnya sebagai suatu problem.

Pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan dan sedang, serta berat (yang berat biasanya dikelola unit terapi atau ke sekolah SLB) secara penuh di kelas reguler bersama teman seusianya.

Pendidikan inklusif menghargai perbedaan dan keragaman kemampuan peserta didik, namun mampu memberikan pelayanan yang disesuaikan kebutuhan peserta didik, tanpa diskriminasi, serta berlangsung dengan ramah dan humanis untuk mengembangkan semua potensi peserta didik.

Harus dibedakan antara sekolah inklusif dan sekolah luar biasa (SLB). Tentu siswa dengan kategori kebutuhan khusus tertentu lebih tepat belajar di SLB, seperti siswa tunawicara, tuna rungu, tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan cacat ganda.

Namun, bagi mereka yang memiliki kecerdasan cukup dan dengan tingkat kebutuhan khusus yang relatif ringan atau sedang, dapat saja 'menyebarang' masuk bersekolah ke sekolah inklusi sepanjang dapat mengikuti proses pembelajaran (setelah melalui assesment / pemeriksaan tentunya).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline