Lihat ke Halaman Asli

Indra Agusta

hologram-Nya Tuhan

Menikah dan Segala Kerumitannya

Diperbarui: 1 Agustus 2020   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gettys Image

(tulisan ini pernah dimuat di Suluksurakartan.com tanggal 21 Januari 2019, kemudian diedit sebelum dipublish disini)

Apa yang lebih melegakan dari kebahagiaan. Mungkin cinta itu sendiri. Kita mendapati garis waktu yang terus berputar, lingkar edar planet yang mungkin mirip seperti relasi manusia. Ada masa-masa ketika kita dijauhkan kepada seseorang, ada kalanya ketika kita bertemu pada lingkar edar yang sangat dekat, gaya gravitasinya saling tarik menarik kemudian manusia menemukan kedekatan-kedekatan pada setiap perjumpaan-perjumpaan.

Manusia, jalma otentik dengan berbagai kemungkinan dan kecenderungan psikologis selalu menawarkan banyak hal untuk diamati. Akhir-akhir ini aku banyak menangkap kegelisahan menyoal pernikahan, kedirian, kemandirian dan kehancuran panggung rumah tangga.

Pada setiap peran dan usia yang dilakoni, kehidupan selalu merekam-rekam berbagai kecenderungan sebuah pernikahan. Ada yang menikah hanya karena geliat relasi kekuasaan, materialis, mengumpulkan -trah, atau serendah melancarkan (menglegalkan) nafsu. Meskipun ini  debat-able, akhir-akhir ini kita temui pula kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga yang sah. Pada kemungkinan lain banyak orang yang menikah karena ingin membuat segala sesuatunya lebih baik, memperbaiki kondisi finansial, memperbaiki potensial fisiologis tubuh anak-anak, dan bagi sedikit orang lainnya adalah penyempurnaan DNA. 

Orang jawa bilang bibit, bebet, bobot. Entah sejak kapan teori Jawa ini mulai berlaku yang jelas pada kenyataannya,  sangat sedikit orang tua, kerabat, atau pihak  yang menjadi wali pernikahan yang menyetujui pernikahan apa adanya. Tidak banyak.

Dalam sudut pandang yang subjektif, bukankah memang begitu tidak ada manusia yang tak punya 'standar minimal'. Soal apapun, seperti memilih makanan yang murah atau baju yang promo jika dilihat dari harga mungkin sangat murah. Tetapi pemilihan harus yang 'murah dan promo' ini kan sikap seorang subjek dalam melatar belakangi gaya hidup yang kemudian dijadikan standar mereka.

Sebuah penilaian akan sebuah keadaan yang berbanding lurus dengan data-data masa lalu sang subjek, hingga keputusan-keputusan masa kini sangat dipengaruhi oleh banyak hal di masa silam. Ulang-alik manusia nampaknya memang tidak akan bisa lepas utuh, karena tarik menarik relasi manusia memang soal masa silam, keputusan masa kini, perhitungan masa depan dan realitas akan beragam kemungkinan ketika harapan-harapan itu ingin dicapai.

Semua punya standar

Jalinan banyak hal yang masuk ke celah pikiran kemudian merasuk ke batin manusia, diolah, dan dipendarkan begitu saja di otak manusia. Semuanya nampak rumit namun kemudian menyimpulkan sesuatu. Sesuatu yang manusia menganggapnya sebagai sebuah standar. Standar ini mungkin berubah seiring terus berputarnya manusia yang seperti semesta.

Zaman, lingkungan, geliat sosial, geopolitik, dogma dari mimbar agama, informasi publik via media sosial, bacaan, rasan-rasan semua mempengaruhi perubahan data manusia. Yang outputnya tentu sudah pasti adalah keinginan atau visi dari sebuah perubahan paradigma, harapan juga tujuan dari sebuah keinginan.

Soal standar di dunia pernikahan seiring waktu berubah, Mainstreamnya manusia modern karena hegemoni jaman menggiringnya kepada arus besar kapitalisme, akhirnya meletakkan kemampuan finansial calon istri/suami berada di level puncak standar. Berbeda dengan beberapa abad sebelumnya yang masih menekankan loyalitas, bahkan perasaan diatas segalanya, terutama ketika era romantiisme melanda Eropa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline