Lihat ke Halaman Asli

indah lutfiyati

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Plotinus dan Pengaruhnya Terhadap Teori Emanasi al-Farabi

Diperbarui: 17 Januari 2020   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Farah.id


Sejak awal muncul, term filsafat selalu menjadi hal yang kontroversial dan banyak diperdebatkan terutama di kalangan para ulama. Ia terus dikaitkankan dengan pemikiran Yunani dan berbagai argumen yang dianggap tidak sejalan dengan Ajaran Islam. Penolakan yang dipelopori oleh Ibn Hanbal (780-855 M) dan orang-orang yang sepemikiran dengannya inilah yang sampai sekarang masih berkembang di beberapa kalangan masyarakat. Penolakan ini menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M) seorang peneliti dari Lebanon disebabkan oleh beberapa hal dan salah satunya adalah karena kekhawatiran ulama-ulama fiqh yang menganggap bahwa ilmu filosofis  ini akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat muslim terhadap ajaran agamanya (Soleh, 2014).

Namun, Al-Farabi melalui pemikiran-pemikirannya mampu membuktikan bahwasanya filsafat dan agama bukanlah suatu hal yang berlawanan, karena keduanya sama-sama memiliki peran yang kuat bagi kemajuan. Dengan demikian filsafat Islam mampu menampilkan madzhab baru dengan karakter yang berbeda dari filsafat-filsafat sebelumnya. Dan salah satu teorinya ialah teori emanasi (nadzariyat al-faidh) yang direkonsiliasikan dengan pemikiran Plotinus. (Junaidi, 2019)

Menurut Plotinus, proses penciptaan diibaratkan seperti cahaya yang beremanasi dari matahari. Ia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu berasal dari "yang satu". Dan di dalamnya "yang satu" tersebut sama sekali tidak mengandung sesuatu "yang banyak". Karena yang esa itu sempurna dan tidak memerlukan apa-apa. Alam yang melimpah ini muncul dari "yang satu" tersebut. Dan yang satu ini adalah semuanya, tetapi yang semuanya tidak terkandung di dalam yang satu. Dari yang asal ini, Plotinus menyebutnya sebagai penggerak pertama. Kemudian oleh Al-Farabi pemikiran ini direkonsiliasikan dengan ketauhidan yang bersumber dari Al-Qur'an. (Ali, 2016)

Al-Farabi menjelaskan dalam teori emanasinya bahwa Allah itu 'Aql,; Aqil, dan Ma'qul. Kata 'Aql  di sini bermakna bahwa Allah-lah yang Maha mencipta dan mengatur segala sesuatu yang ada dengan aturan yang benar-benar rapi tanpa ada cacat sedikitpun. Oleh karena itu, cara Allah menciptakan alam adalah dengan berta'aqqul dengan zat-Nya. Karena  Allah maha sempurna dan maha esa, maka tidak mungkin jika Allah berhubungan dengan alam yang tidak esa dan tidak pula sempurna (Zar, 2004).

Selanjutnya proses ta'aqqul Allah terhadap zat-Nya ini membentuk suatu susunan yang hierarkis yang menghasilkan akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Allah berpikir tentang diri-Nya kemudian terciptalah energi yang maha dahsyat secara pancaran dan dari energi inilah tercipta akal pertama. Akal pertama berpikir tentang Allah dan dirinya sendiri sehingga tercipta akal keduadan langit pertama. Akal kedua berpikir tentang Allah dan dirinya sendiri sehingga terciptalah akal ketiga dan bintang-bintang. Begitupun seterusnya, setiap akal berpikir tentang Allah dan dirinya sendiri lalu menghasilkan akal-akal berikutnya.

Akal ketiga menghasilkan akal ke empat dan Saturnus. Akal ke empat menghasilkan akal ke lima dan Yupiter. Akal ke lima menghasilkan akal ke enam dan Mars. Akal ke enam menghasilkan akal ke tujuh dan Matahari. Akal ke tujuh menghasilkan akal ke delapan dan Venus. Akal ke delapan menghasilkan akal sembilan dan Merkurius. Akal ke sembilan menghasilkan akal ke sepuluh dan Bulan. Pada tahapan akal yang terakhir, yaitu sepuluh ini dayanya sudah lemah sehingga tidak mampu menghasilkan akal yang sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, beserta roh dan materi pertama yang dibagi menjadi empat unsur yaitu: udara, api, air, dan tanah. (Ali, 2016)

Masing-masing dari akal tersebut mengatur planetnya masing-masing dan diberi simbol oleh Allah sebagai malaikat yang diberi tugas tambahan oleh Allah. Sedangkan akal kesepuluh disebut sebagai akal aktif ('aql fa'al) yaitu malaikat Jibril yang diberi tugas untuk mengatur bumi.

Dapat dilihat dari struktur emanasi tersebut bahwasanya proses ta'aqqul Allah terhadap zat-Nya hanya memancarkan pada akal pertama, sedangkan akal berikutnya memancarkan akal kedua dan langit sampai seterusnya pada akal ke sepuluh. Hal ini menjelaskan bahwa dari yang Esa tidak mungkin tercipta darinya kecuali sesuatu yang esa pula. Sebab objek ta'aqqul Tuhan yang Maha Esa hanyalah satu yaitu zat-Nya sendiri sehingga hanya menghasilkan satu pencaran saja yakni akal pertama (Ali, 2016).

Karena jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini, maka dalam zat Allah mengandung arti plural pula. Dan hal ini tenntu merusak citra ketauhidan Allah sebagaimana dalam ajaran Islam. Begitu pula dalam hal ketidak sempurnaan alam yang tidak mungkin berhubungan langsung dengan Allah yang maha sempurna.

Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat Islam khususnya pada teori emanasi tak lain tujuannya ialah untuk menjaga kemurnian tauhid dalam ajaran Islam. Dan meskipun pada dasarnya filsafat memang dipengaruhi oleh filsafat Yunani atau Hellenisme, namun Al-Qur'an tetaplah dihargai sebagai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, sehingga pola pikir filsafat dengan berlandaskan Al-Qur'an akan sangat membantu dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Akhirnya, perjalanan panjang Al-Farabi bergelut dalam dunia filsafat membuat Ia menjadi sosok sufi yang rasional hingga akhir hayatnya.

Sumber:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline