Lihat ke Halaman Asli

Lukman Hamarong

Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Laga Boxing Day, Ujian Kesabaran Bagi Pelatih dan Pemain

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Apa yang membedakan antara Liga Inggris dengan liga-liga di negara lain? Bagi pesepak bola yang mencari nafkah di negeri Ratu Elizabeth itu, jawaban dari pertanyaan tersebut tidaklah sulit. Sangat mudah menjawabnya. Coba simak komentar gelandang serang Chelsea, Oscar, berikut ini: “Saat ini adalah waktu yang sangat sibuk buat pesepak bola di Inggris. Ada banyak pertandingan dimainkan di sekitar Natal. Hal yang tak biasa, tapi itulah yang membuat Premier League begitu spesial.”

Statement Oscar yang saya kutip dari media BOLA edisi mingguan ini tentunya merujuk pada laga Boxing Day yang berlangsung selama tiga pekan. Terhitung sejak pekan ke-18 hingga ke-20, Liga Primer Inggris memanjakan mata penikmat sepak bola dunia. Tidak seperti liga top Eropa lainnya yang memilih berlibur di Hari Natal hingga Tahun Baru, Inggris malah sibuk memberikan hiburan kepada seluruh penggila bola. Kreatif bukan?

Namun, laga Boxing Day bukan tanpa penentang. Tidak sedikit pelatih maupun pemain yang mengais rezeki di Inggris sangat menentang dengan laga spesial tersebut. Tidak adanya winter break alias libur musim dingin saat Natal dan Tahun Baru membuat sebagian pelatih dan pemain tak bisa berkumpul dengan keluarga mereka. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus belajar beradaptasi dengan keunikan yang disuguhkan English Premier League. Keluhan Louis van Gaal, peracik strategi Manchester United, berikut ini bisa dijadikan penegas klaim bahwa Boxing Day bukan tanpa penentang:

“Saya tidak senang karena saya memang tidak setuju dengan padatnya jadwal di Desember. Saya tidak bisa mengubahnya. Tapi, saya rasa bermain setiap dua hari sekali tidaklah baik bagi pemain. Kami juga punya keluarga. Saya rasa hal ini tidak bagus juga buat keluarga, tapi saya kini bekerja di Inggris. Jadi, saya mesti beradaptasi dan saya akan beradaptasi.” (Edisi 012 Poster Story BOLA Desember 2014).
Simak pula apa yang dikatakan Wayne Rooney, anak didik LvG di MU, “Jika Anda melihat semua pertandingan yang baru saja dimainkan, tidak ada kualitas di sana. Belum lagi kendala cuaca yang terjadi membuat fans kesulitan. Mereka harus menghabiskan banyak uang sepanjang Natal. Namun itu yang terjadi sekarang dan kami harus bisa menghadapinya sebaik mungkin.”

Di tengah hujan kritikan terhadap laga Boxing Day yang menguras tenaga di saat perayaan Natal dan Tahun Baru, pelatih Chelsea, Jose Mourinho, malah memberikan komentar yang sedikit bijak. Berikut komentar Mou: “Ini sangat sulit. Saat orang-orang Jerman sedang berlibur di pantai. Orang-orang Spanyol berjemur di Maladewa. Semua orang melakukan itu. Tapi, di negara ini, Anda bermain pada 22 Desember, bermain di Boxing Day, tanggal 28, dan juga saat Tahun Baru. Tak ada Natal, yang ada hanya sepakbola. Untuk itu, saya pikir, para pemain pantas mendapatkan respek.”

Saya setuju apa yang dikatakan Mou. Terlepas dari pro dan kontra laga Boxing Day yang sudah menjadi tradisi dan regulasi ekstrim yang dilahirkan Premiere League, otoritas tertinggi Liga Inggris, maka suka tidak suka, semua stakeholder yang berada dalam payung yang sama harus bisa beradaptasi, meskipun itu sulit dan terasa pahit bagi mereka. Di saat pelatih dan pemain di liga sana berlibur bersama keluarga, merayakan natal dan tahun baru, maka pemain dan pelatih di Inggris harus mendapatkan respek dan apresiasi yang lebih dari pencinta sepak bola dunia, khususnya Inggris, karena mereka harus berjuang, bercucuran keringat di atas lapangan demi meraih kemenangan di laga Boxing Day.

Kalau Mou mengatakan laga boxing day tak ada natal dan tahun baru, yang ada hanyalah sepak bola, maka komentar paradoks dihembuskan Carlo Ancelotti, juru taktik Real Madrid, klub raksasa asal Spanyol. “Masa liburan ini (natal dan tahun baru) adalah waktu yang tenang buat dihabiskan bersama keluarga. Olehnya itu, lupakan sejenak sepak bola.” (Harian BOLA, 26 Desember 2014). Sangat paradoks bukan? Di Inggris, orang-orang asyik dengan sepak bola saat natal dan tahun baru, sebaliknya di Spanyol dan negara lainnya, malah menikmati liburan bersama keluarga sembari merayakan natal dan tahun baru tanpa sepak bola.

Di Inggris, pintu-pintu kantor dan perusahaan ditutup rapat untuk memberi keleluasaan bagi pegawainya berlibur Natal dan Tahun Baru, sementara pintu-pintu stadion malah dibuka selebar-lebarnya guna memberikan alternatif hiburan bagi rakyat Inggris. Jadi, opsi objek wisata berlibur kian semakin banyak. Dan sebagian besar warga Inggris menikmati laga Boxing Day dengan semangat perayaan natal dan tahun baru. Namun, sesungguhnya yang menjadi “korban” dari laga Boxing Day adalah para pelatih dan pemain itu sendiri. Mereka punya keluarga juga untuk ditemani merayakan Natal, tapi mereka malah menjadi objek hiburan yang paling seksi di Hari Natal dan Tahun Baru.

Salah satu dampak paling buruk dari laga Boxing Day adalah tumbangnya para pemain karena cedera akibat kelelahan sebagai imbas dari padatnya jadwal laga Boxing Day. Pelatih Manchester City, Manuel Pellegrini, merasakan hal tersebut. Sudah dua edisi Pellegrini merasakan kreatifitas unik Premier League. Dan dampaknya, banyak pemainnya yang masuk ruang perawatan akibat cedera. Berikut celoteh eks pelatih Madrid ini, “Mereka cedera karena terlalu sering bermain di akhir tahun. Premier League intensitasnya sangat tinggi. Boxing Day memang penting, tapi semuanya bisa berdampak buruk di atas lapangan.”

Pandangan nyinyir dikemukakan pemain West Ham United, Mark Noble, terhadap para pengkritik laga Boxing Day. Menurut gelandang kelahiran Canning Town ini, seharusnya para pengkritik itu bersyukur karena tidak dikirim ke Irak atau Afghanistan berperang. Kata Noble, mereka harus bisa menerima apa yang menjadi aturan main di Inggris karena itulah konsekuensi yang harus mereka terima selama bekerja sebagai pelatih dan pemain di Inggris. Dia mencoba membandingkan dengan para tentara yang dikirim ke Irak dan Afghanistan. Berikut petikan komentarnya yang saya kutip dari viva.co.id:

“Anda harus berpikir mengenai tentara yang berada di Afghanistan dan Irak. Mereka tidak bersama keluarga mereka dan hidup di bawah ancaman peluru, sedangkan kita hanya bermain di Premier League. Memang sangat sulit bagi Anda yang punya keluarga dan anak di mana Anda harus meninggalkan mereka. Tapi, sebenarnya kita sekumpulan kecil pemain-pemain yang beruntung. Kita beruntung punya kemampuan bermain di Premier League.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline