Lihat ke Halaman Asli

Selemah-lemahnya Iman ...

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini, aku teringat lagi dengan guru ngaji di kampung, Lukman Hakim. Ia seringkali menyitir hadist yang kira-kira artinya: Bila kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu, kalau tidak mampu, ubahkan dengan kata-katamu, kalau tidak mampu juga, dengan hatimu, tetapi itu adalah selemah-lemahnya iman.

Perjalanan menggunakan Kereta Api, memang mengingatkanku pada banyak hal di masa yang telah silam. Bahkan, masa 30 tahun lalu di Lahat, Sumsel, kota kelahiranku. Kota yang tidak cukup ramai, dengan aliran sungai Lematang, tempat aku mencuri-curi waktu dari pandangan orangtua, untuk berhanyutan menikmati aliran air yang sejuk itu dengan ban dalam mobil dari arah hulu ke hilir.

Aku saat ini terasa malu, karena merasa lebih pengecut ketimbang saat masih SMA, atau saat pertama kali tiba di Jakarta. Sekarang, aku lebih banyak melakukan selemah-lemahnya iman, hanya melawan dengan hati, dan sangat jarang melawan dengan lisan, apalagi sampai turun tangan melawan kebatilan di sekitar.

Aku masih ingat, betapa saat aku pertama tiba di terminal Kalideres, Jakarta Barat, berani mengejar pencopet dompet seorang ibu, tanpa pikir beragam resiko yang mungkin terjadi. Entah mungkin karena waktu itu aku juga menyelipkan sebilah siwar (pisau khas dari kampungku) di pinggangku, dan sejumlah pisau kecil lainnya yang bersembuny di kaus kaki dikedua kakiku, atau karena memang punya keberanian. Maklum, sebagai orang kampung yang baru datang ke ibukota, punya segudang cerita tentang beraga kejahatan, itu sebabnya aku berangkat ke Jakarta, lengkap dengan senjata seperti mau perang. Beruntung, aku juga membawa bekal otak. Yang jelas, saat itu dompet sang ibu bisa kuambil dengan selamat, dan pencopet kabur entah kemana.

Saat ini, aKu hanya ingin mempunyai sedikit keberanian di masa lalu, untuk berbuat sesuatu dan melawan kemungkaran. Aku sudah banyak menyia-nyiakan kesempatan. Dalam hatiku mulai bergetar, tak terasa bibir mulai melafazkan doa Abunawa,

ilahi lastu lilfirdausi ahla, walaa aqwa 'ala naaril jahiimi. Fahabli taubatan waghfir dzunubi, Fainaka ghafirudz dzanbil 'adzimi ... Dzunubi mitslu a'daadir rimal, Fahbli taubatan ya Dzal Jalaali, Wa'umri naqishu fi kulli yaumi, Wa dzanbi zaadun kaifa-htimali. Ilahi 'abdukal 'aashi ataak, Mugirran bi dzunubi Wa qad di'aaka. Faa taghfir fa anta lidzaka ahlun, Wain tadrud faman narju siwaaka.

( Wahai Tuhanku,... aku sebetulnya tak layak masuk surgaMu, tapi ... aku tak sanggup menahan api nerakaMu, karena itu mohon terima taubatku, ampunkan dosaku, sesungguhnya Engkaulah maha pengampun dosa-dosa besar. Dosa-dosaku bagaikan bilangan butir pasir, maka berilah ampunkun oh Tuhanku yang Maha Agung, setiap hari umurku berkurang, sedangkan dosaku terus menggunung, bagaimana aku mampu menanggungnya. Wahai Tuhanku, hambamu yang pendosa ini datang bersimpuh kehadapanMu, mengakui segala dosaku, mengadu dan memohon kepadaMu. Kalau Engkau ampuni itu, karena Engkau sajalah yang bisa memberi ampunan, tapi kalau Kau tolak, kepada siapa lagi kami mohon ampun selain kepada MU ? )




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline