Lihat ke Halaman Asli

ignacio himawan

ilmu terapan untuk keseharian

Dibutuhkan Ketenangan dalam Menyikapi Tragedi JT610

Diperbarui: 8 Desember 2018   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Akhir bulan November lalu KNKT mengeluarkan pernyataan resmi pertama untuk kasus tragedi JT610. Secara teknis tidak ada informasi baru yang dikeluarkan karena pernyataan tersebut mengacu pada profil penerbangan yang sudah saya bahas di awal November berdasarkan data yang beredar di publik saat itu. Yang baru dan menarik adalah pernyataan eksplisit KNKT kalau pesawat terbang yang terdaftar sebagai PK-LQP tidak layak terbang. Namun tidak ada klarifikasi tentang apa yang dimaksud dengan tidak layak terbang. 

Pernytaan ini kemudian berkembang menjadi perang mulut antara Lion dan KNKT.  Kemudian antara Lion dengan Boeing: kemungkinan besar Lion mempermasalahkan teknologi augmentasi MCAS yang sebenarnya diperkenalkan oleh Boeing untuk membuat 737-Max lebih aman daripada pendahulunya. 

Dari dua perang mulut ini tampak kalau pihak Lion Air mengambil sikap defensif walaupun penyelidikan KNKT belum (dan tidak akan boleh) menyalahkan pihak mana pun, termasuk Lion Air. Yang saya sayangkan adalah pemerintah RI (kalau tidak salah dari kementrian Perhubungan) sudah menuntu pemberhentian direktur teknis Lion air dalam dua hari setelah tragedi. Hal ini tentu saja mendorong pihak Lion untuk mengambil posisi defensif sejak awal.

Secara faktual, pernyataan KNKT memang berdasar. Apabila dalam menit pertama pesawat terbang PK-LQP sudah menunjukan pola terbang yang abnormal yang disertai oleh data FDR, maka pesawat tersebut memang tidak layak terbang. Namun setahu saya hingga saat ini belum ada pernyataan resmi seputar prosedur pemeliharaan yang dilakukan oleh Lion Air pada malam sebelumnya.

Apakah teknologi MCAS memang bersalah? Pertama belum ada pernyataan KNKT maupun NTSB tentang keterlibatan MCAS. Kalaupun tukikan terkahir yang fatal memang disebabkan oleh MCAS (harus digaris bawahi: kalaupun), bukan otomatis kesalahan ada di teknologi ini karean ia tidak akan aktif apabila tidak ada pola penerbangangan abnormal yang muncul sejak menit kedua. Lebih jauh lagi, Southwest Airlines sebagai operator 737-MAX terbesar saat ini tidak mencatat insiden serius satu pun, walau demikian pilot-pilot Soutwest memang terlibat dalam gugatan ke Boeing sekitar MCAS.

Pada prinsipnya sampai ada kesimpulan akhir, dan mungkin tidak mudah mengingat hingga saat ini CVR (Cockpit Voice Recorder) belum diketemukan, dibutuhkan ketenangan (termasuk bagi kalangan pemerintah yang juga terlalu reaktif ketika menghadapi tragedi QZ8501) dalam menyikapi tragedi penerbangan ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline