Lihat ke Halaman Asli

Idris Hasanuddin

Entah Aku jadi apa, asal... kecil disuka dan muda terkenal, tua kaya raya dan mati masuk surga

Televisi, Antara Kuasa dan Kepentingan di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

1. Sejarah Awal Pertelevisian Indonesia

Sejarah penyiaran televisi Indonesia dimulai pada tahun 1961, saat pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asian Games IV. Kemudian pada tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI (Televisi Republik Indonesia) mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Kemudian pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno,

Sejak tanggal 12 November 1962 TVRI mengudara secara reguler setiap hari. Pada 1 Maret 1963 TVRI mulai menayangkan iklan seiring dengan ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan presiden RI nomor 215 tahun 1963. Namun pada tahun 1981 dengan berbagai alasan politis TVRI tidak diijinkan lagi menayangkan iklan. Pada 1988 tahun TVRI tidak lagi menjadi lembaga penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mulai mengijinkan televisi swasta beroperasi di Indonesia, RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), INDOSIAR (1995).

Kemunculan TVRI sebagai lembaga penyiaran televisi pertama di Indonesia, terlepas dari segala kesederhanaan dan pola acara siaran yang belum matang dan hadir pada mulanya untuk menyiarkan kegiatan olahraga yang masih sarat dengan pengaruh politis, telah ikut mengangkat gengsi bangsa Indonesia yang sedang mencari jati dan pengakuan dunia Internasional.

Di Indoensia, kehadiran televisi pada awalnya merupakan sarana terbatas yang dianggap sebagai barang mewah,tetapi seiring berlalunya zaman televisi bukan lagi barang lux, ia bahkan menjadi sarana massal yang dikomsumsi di setiap lapisa masyarakat. Kehadiran televisi tidak hanya mengisi ruang rumah-rumah mewah tetapi juga hampir di setiap rumah, bahkan sampai ke warung-warung di pinggir jalan. Kini televisi menjadi komsumsi sehari-hari sebagian besar masyarakat.

Dalam perkembangannya, terutama pada era Orde Baru sesungguhnya sejarah televisi adalah sejarah medium untuk propaganda dan proteksi kekuasaan. Hal ini dilakukan dengan berbagai jalan seperti pemilihan program, penekanan fokus, diskusi lewat oleh orang yang terpilih oleh kekuasaan, hingga menghindari acara yang bersifat kritis. Hal ini terjadi karena dasar dan peran TVRI di bawah Departemen Penerangan yang berfungsi sebagai juru penerang yang berkuasa.

Pada periode pemerintahan Habibie, yang ditandai dengan peran kuat televisi swasta multikanal, sekaligus dibukanya prinsip pengelolaan pers bebas oleh Kementrian Penerangan, TVRI tidak menggunakan momentum ini untuk mengubah peran klasiknya. TVRI tetap lebih berpihak kepada kekuasaan. Pada era Soesilo Bambang Yudhoyono, sebuah era pencitraan politik lewat media, dan ketika Kominfo kembali menjadi kementrian tersendisi (sebelumnya Kementrian Penerangan dihapus pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid), TVRI pun menjadi televisi publik secara hukum formal.

Masuknya televisi swasta dalam ranah pertelevisian di Indonesia memberikan corak terhadap wajah televisi Indonesia bahkan hingga saat ini. Televisi swasta nasional merupakan pemain utama menyingkirkan TVRI milik pemerintah yang beberapa dekade sebelumnya menguasai ranah tersebut. Namun sangat disayangkan peran televisi swasta di Indonesia jauh yang diharapkan sebagaimana yang disebutkan dalam amanat undang-undang bahwa televisi berfungsi sebagai "media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial", dan juga untuk "menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa".

2. Televisi dan Teks; Relasi Kuasa dan Kepentingan

Semua kenyataan kultural adalah teks. Maksudnya adalah kenyataan kultural ditempatkan sebagi teks yang dapat ditafsirkan, dibaca, diterjemahkan, dipahami layaknya teks-teks bahasa dalam pemahaman sederhana. Televisi merupakan bagian dari itu. Televisi adalah jaring-jaring teks yang hadir dalam kenyataan sehari-hari. Sebagai teks, televisi sarat akan makna-makna kultural yang hadir tidak tanpa nilai.

Televisi sebagai teks menjadikannya sebagai sumber daya yang terbuka hampir semua orang. Chirs Barker menyebut televisi sebagai

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline