Lihat ke Halaman Asli

Inkonsistensi Nurcholish Madjid?

Diperbarui: 27 September 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam rangka ikut memperingati 10 tahun Haul Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholish Madjid), tanggal 29 Agustus lalu, kami memublikasikan tulisan sederhana ini, yang setidaknya menunjukkan kesan pribadi kami kepada almarhum. Di sela kesibukan kami mempelajari Islam dan khazanah intelektualnya di Turki, kami berharap tulisan ini menjadi semacam doa kepada Tuhan, agar Cak Nur, keluarga, serta murid-muridnya, selalu dirahmati-Nya, dan agar warisan-warisan intelektualnya mampu kami jaga dan lestarikan.

Pendahuluan

Pada 1968, Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Cak Nur, panggilan akrabnya), Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) periode 1966 – 1969 menuliskan artikel panjang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi.” Buah pikiran sarjana cum aktivis pergerakan mahasiswa Islam yang coba memberikan “jawaban Islam”[1] terhadap takdir sejarah bangsa Indonesia. Takdir berupa modernisasi dan pembangunan yang menjadi program utama pasca transisi pemerintahan yang diselubungi kecurigaan. Curiga dan khawatir bahwa kebijakan dan kenyataan yang berjalan saat itu kontra-produktif terhadap umat Islam.[2] Masa ketika arus sekularisasi telah tiba dari Barat ke Timur, umat Islam khawatir mereka akan senasib dengan saudara-saudaranya segenap agama yang tak mampu bertahan dari gempuran raksasa modern bernama sekularisasi. Dalam keadaan demikian umat memerlukan tuntunan dan jawaban akan nasibnya di tengah lalu lintas modernisasi dan sekularisasi ini, dan Cak Nur pun muncul.

Cak Nur mengimbau untuk tidak khawatir dengan modernisasi, karena sejatinya ia lahir dari rahim Islam juga. Tapi, layaknya seorang idealis, jawaban Cak Nur cukup membakar, karena menyiratkan adanya pertarungan ideologi antara Islam dan musuh-musuhnya (rasionalisme, sekularisme, liberalisme, individualisme, kapitalisme, humanisme, komunisme dan westernisme).[3] Pada akhirnya “jawaban Islam” dari Cak Nur cukup memuaskan para tetua-tetua Islam partai terlarang Masyumi dan sesama aktivis aspirasi Islam, sehingga nampak bagi mereka telah muncul seorang “Natsir Muda.”[4] Akan tetapi itu semua berubah pasca 2 Januari 1970.  Sang “Natsir Muda” dianggap membelot. Orang yang awalnya begitu diharapkan “menyelamatkan” wajah Islam di tengah konflik ideologi, muncul “menonjok” wajah para pengelu-elunya dengan gagasan sekularisasi dan pembaruan pemikiran Islam. Dulu dia menyerang keluar, kini ke dalam.

Jika demikian, Cak Nur sedang berada dalam titik inkonsistensi. Namun asumsi ini harus dibuktikan lebih lanjut guna menemukan jawaban sebenarnya. Dalam usaha pencarian itu, metodologi tafsir kontemporer akan cukup membantu memahami realitas sebenarnya dari corak inkonsistensi dalam gagasan-gagasan Cak Nur. Tafsir kontemporer menggunakan alur pikir dialektis antara gagasan dan realitas. Tafsir ini percaya pada interaksi dialektis antara teks yang terbatas, konteks yang tidak terbatas, dan si penggagas. Teks dan penggagasnya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosio-historis, geo-politik, latar keilmuan, dan kepentingan. Dalam usaha ini dilakukanlah hermeneutika double movement, yakni upaya “membaca” gagasan-gagasan Cak Nur sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-historis untuk mencari makna otentik (original meaning) dan nilai-nilai ideal-moral, lalu kembali ke masa kita sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesannya sehingga diperoleh kedudukan obyektif dari “inkonsistensi” dimaksud. Lebih jauh adalah untuk menemukan pesan universal gagasan pembaruan Cak Nur yang hendak diaplikasikan dalam konteks kekinian.[5]  Melalui penafsiran kontemporer ini diharapkan ditemukan pembacaan yang produktif dan prospektif atas gagasan Cak Nur sehingga tidak terjebak pada simplifikasi dan terlalu ideology-oriented.[6] Studi ini mengacu pada karya-karya Cak Nur seputar pembahasan modernisasi dan pembaruan pemikiran, seperti Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, dan lain-lain,[7] termasuk karya terakhirnya, Indonesia Kita, sebagai sumber primer, dan di luar itu adalah rujukan sekunder.

Nurcholish before Nurcholish[8]

Cak Nur mengawali artikel Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi dengan 3 buah keresahan: (1) munculnya insecurity sosio-politik akan adanya satu golongan penghalang proyek utama modernisasi, (2) bahwa golongan yang dimaksud adalah umat Islam, pembawa aspirasi Islam, termasuk mahasiswa Islam, (3) adanya contradictio in terminis karena mahasiswa mustahil menghalangi modernisasi, padahal mereka adalah modernizing agent.  Sebagai penulis Dasar-dasar Islamisme, embrio Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, gagasan-gagasan Cak Nur dipenuhi semangat endorsing Islam sebagai ideologi. Dalam persaingan ideologi 1960-an yang banyak menentukan posisi-posisi menguntungkan dalam geo-politik nasional, kondisi Islam amat termarjinalkan. Memang dalam persaingan ideologi ini, umat Islam bisa dibilang ketinggalan jauh dari komunisme dan liberalisme, ideologi-ideologi Barat itu. Kala itu generasi muda komunis sudah dibekali Pustaka Kecil Marxis sebagai pintu masuk menghayati komunisme. Memang pernah ada usaha Tjokroaminoto dengan Islam dan Sosialisme-nya, namun menurut Cak Nur, karya itu sangat tidak representatif Islam. Dia menginginkan sesuatu yang lebih luas dan mendalam, suatu weltanschauung Islam.[9]

Di saat yang sama, golongan politik Islam tidak bisa ikut memimpin pemerintahan dan kegiatan pembangunan atau modernisasi. Suatu kemerosotan yang tajam, mengingat perannya yang tidak kecil dalam menumbangkan Orde Lama dan kudeta PKI. Belum sembuh luka akibat kevakuman itu, umat Islam semakin terpojokkan karena selalu dihadapkan sebagai “anti-Pancasila”, padahal tak satupun sila-silanya yang kontradiktif dengan ajaran Islam.[10] Cak Nur menyebut keadaan ini sebagai “ketidakberesan kehidupan politik,” dan dalam artikelnya itu segala kesalahan ditumpahkan kepada pemangku kuasa. Dengan semangat membela Islam yang berkali-kali disebutnya sebagai way of life, satu hal yang pastinya amat memuaskan tetua-tetua Islam, utamanya para politikus Masyumi, Cak Nur mengingatkan untuk setia berpihak pada ideologi Islam, meski kondisi empiris begitu menohok hati, yakni tampilnya segelintir minoritas yang dianggapnya tidak representatif dalam memimpin bangsa. Cak Nur menuntut pemerintah untuk membersihkan nama baik demokrasi. Purifikasi demokrasi ini, tentu saja, berarti pemerintah harus membuka pintu untuk golongan Islam. Bagi Masyumi itu artinya rehabilitasi partai.

Sampai di sini Cak Nur masih konsisten mengusung Islam sebagai ideologi dan mendukung upaya rehabilitasi partai Masyumi, partai yang “meramaikan” Majelis Konstituante dengan “Negara Islam”nya, yang bersikukuh mengembalikan Piagam Jakarta sebagai dasar negara, dan yang membuat lelah pemerintah karena dukungannya pada gerakan-gerakan pemberontakan.[11] Ketika itu, Islam adalah pesaing sejati segala “isme” dari Barat[12], dan Masyumi adalah perwujudannya di kancah politik praktis, sementara Cak Nur adalah pemimpin tertinggi organisasi kemahasiswaan Islam. Dalam artikelnya, Cak Nur menginginkan umat Islam untuk kuat menjaga barisan dalam “perjuangan berat” ini, terus berusaha sembari menanti pertolongan Allah “Waliyyul Mu’minin.” Inilah ideal-moral artikel Cak Nur, ditilik dari konteks sosio-politiknya, yakni berusaha menjaga integrasi umat Islam.[13] Mungkin Cak Nur mengira bahwa keberlangsungan hidup bagi umat Islam dalam arus modernisasi ada dalam integrasi.

Awal Inkonsistensi?

Pada akhirnya, Soeharto memang tidak mengikutsertakan kelompok Islam manapun dalam pemerintahan yang dibentuknya, kecuali individu-individu yang dianggap akomodatif. Suasana yang semula dijejali optimisme baru menyusul runtuhnya rezim lama dan komunis di satu sisi, dan terjadinya dislokasi politik Islam pada tingkat nasional di sisi lain, telah menimbulkan kekecewaan relatif pada kaum Muslim.[14] Berkaca pada kondisi tersebut, siapa pun tidak bisa melihat masa depan cerah prospek Islam dalam proses modernisasi. Bagaimana dengan Cak Nur? Pada 2 Januari 1970, Cak Nur kembali tampil memberikan “jawaban Islam” dalam Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. “Anak Kandung Masyumi” ini telah cukup lama menyadari beberapa penghambat partisipasi umat Islam dalam proses demokrasi.[15] Di sinilah titik mula terjadinya perubahan dalam gagasan-gagasan Cak Nur, yang kelak bertelur menjadi gagasan sekularisasi, dan memaksanya kehilangan simpatisan, baik dari kalangan pemimpin-pemimpin Islam Masyumi khususnya, dan kaum tradisionalis umumnya. Jika dalam artikel sebelumnya Cak Nur resah dengan kondisi periferal umat Islam yang ditengarai sengaja dipojokkan dalam “perang pemikiran,” dalam Keharusan Pembaruan dia justru resah pada umat Islam an sich. Cak Nur amat menyayangkan sikap tidak luwes, prinsipalis, dan keras kepala dari para pemimpin Masyumi yang selalu saja tidak mau sebarisan dengan pemerintah.[16] Cak Nur benar-benar berubah, setidaknya demikian penampakannya, karena berbeda dari Modernisasi ialah Rasionalisasi di mana integrasi menjadi ideal-moral-nya dan berupaya meng-endorse ideologi Islam, kini itu semua ditanggalkan. Dalam Keharusan Pembaruan, Cak Nur mengajukan proyek pembaruan pemikiran Islam, karena umat telah mengalami kejumudan dan kehilangan psycologycal striking force (daya tonjok psikologis) dalam perjuangannya. Cak Nur tidak bisa menolerir kebekuan pemikiran dalam usaha-usaha integrasi. Di tengah inkompatibilitas itu, dia memilih pembaruan bukan integrasi.[17]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline