Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Badrul Munir S

Kepala Sekolah SMA HelloMotion Malang

Mengapa Kita Mudah Membenci?

Diperbarui: 27 Agustus 2025   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir setiap hari, kita disuguhi berita atau potongan video yang memperlihatkan orang marah, saling menghina, melempar fitnah, atau menyerang satu sama lain di media sosial. Cukup membuka kolom komentar di platform apa pun, kita bisa menemukan banjir kata-kata kasar yang dilemparkan begitu saja, seakan-akan kemarahan adalah bahasa yang wajar di era digital ini. Fenomena ini bukan hanya membuat ruang publik terasa pengap, tetapi juga menimbulkan luka sosial yang semakin dalam.

Pertanyaan sederhana pun muncul: Mengapa kita begitu mudah membenci?

Sebagian orang mungkin menjawab bahwa ini soal psikologi: ada kekecewaan yang lama tertahan, ada rasa iri terhadap kesuksesan orang lain, atau ketakutan kalau dirinya akan tertinggal. Sebagian lain mungkin mengatakan, ini soal spiritual: kita kurang mampu mengendalikan diri, kurang menghadirkan rasa syukur, sehingga hati mudah dikuasai oleh amarah dan dengki. Semua itu mungkin benar, tetapi persoalannya tidak sesederhana itu.

Kalau kita perhatikan, kebencian kini tumbuh subur bukan hanya di ruang pribadi, tapi juga di ruang publik yang seharusnya menjadi tempat saling menguatkan. Media sosial, misalnya, sering kali berubah menjadi arena pertarungan harga diri. Remaja yang tengah mencari jati diri terjebak dalam perbandingan tanpa akhir. Ada kecemasan yang terus membayangi: takut tidak dianggap keren, takut kalah populer, takut gagal. Rasa takut inilah yang sering menjelma menjadi komentar sinis, hinaan, bahkan kebencian terhadap orang lain yang tampak lebih "bahagia".

Padahal, kalau kita jujur, hampir semua dari kita pernah berada di posisi itu: merasa terancam oleh kebahagiaan orang lain. Kita iri pada pencapaian teman, atau jengkel pada orang yang berbeda pandangan. Namun alih-alih mengolah rasa itu, kita justru membiarkannya meledak menjadi kata-kata yang melukai.

Yang lebih menggelisahkan, semua ini terjadi di masyarakat yang sebenarnya menjunjung tinggi nilai agama dan moral. Bukankah agama apa pun itu mengajarkan kasih sayang, persaudaraan, dan ketenteraman? Lalu mengapa kebencian justru lebih sering kita lihat dibanding cinta?

Barangkali jawabannya terletak pada jarak antara nilai yang kita yakini dengan perilaku sehari-hari. Kita pandai mengutip ayat dan kata bijak, tetapi kurang melatih hati untuk benar-benar menghidupi nilai itu. Kita sibuk membangun citra di luar, tapi lalai merawat ketenangan di dalam.

Maka, kegelisahan ini seharusnya mendorong kita bertanya lebih jauh: apakah kita ingin terus hidup dalam lingkaran kebencian yang tidak berkesudahan, atau berani membangun kebiasaan baru mengendalikan amarah, melatih empati, dan mengingatkan diri bahwa kebahagiaan orang lain bukan ancaman, melainkan cermin bahwa dunia masih menyimpan kebaikan?

Pada akhirnya, membenci itu mudah. Tapi justru karena mudah, ia berbahaya. Yang sulit adalah menjaga hati tetap lapang di tengah dunia yang penuh tekanan. Namun justru di situlah letak keberanian sejati: bukan sekadar melawan orang lain, tetapi melawan sisi gelap dalam diri kita sendiri.

Oleh : 

Muhammad Badrul Munir S (Sam Bad)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline