Lihat ke Halaman Asli

HIMIESPA FEB UGM

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Kebijakan Populis di Tahun Politis

Diperbarui: 17 Juli 2018   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ghifari Ramadhan Firman, Ilmu Ekonomi 2016, Staf Ahli Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA 2018

Oleh: Ghifari Ramadhan Firman, Ilmu Ekonomi 2016, Staf Ahli Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA 2018

Tahun 2018 telah memasuki bulan kelima. Sejauh ini, perekonomian Indonesia masih belum dapat lepas dari jeratan ketidakpastian global. Wacana kenaikan TheFed Fund Rate, perbaikan ekonomi global serta perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China cukup membuat perekonomian Indonesia tertekan. Disamping tekanan eksternal, kondisi internal Indonesia banyak mempengaruhi perekonomian Indonesia hingga kebijakan yang ditempuh.

Tekanan eksternal membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami kontraksi hingga menembus 14 ribu rupiah per dollar. Upaya -- upaya yang dilakukan untuk menekan pelemahan rupiah seperti intervensi pasar oleh Bank Indonesia (BI) masih belum efektif. Pada bulan Januari 2018, cadangan devisa Indonesia masih sebesar 131.98 miliar USD. 

Sedangkan per bulan April 2018, cadangan devisa Indonesia turun menjadi 124.869 miliar USD. Artinya, sekitar tujuh miliar USD telah digelontorkan dalam kurun waktu empat bulan. Namun, rupiah masih belum menunjukkan tanda -- tanda perbaikan.

Disisi lain, tekanan internal yang membayangi yaitu pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019. Sebenarnya tidak tepat mengatakan gelaran pilkada maupun pemilu adalah tekanan, karena adanya pilkada serentak maupun pemilu 2019 dapat mendorong konsumsi masyarakat yang selama ini melemah. Tetapi, gelaran dua gawe besar ini banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah, khususnya di awal tahun 2018 ini.

Keputusan pemerintah untuk menambah alokasi dana subsidi BBM untuk jenis solar cukup mengejutkan. Pemerintah menyatakan adanya peningkatan subsidi solar sebesar Rp500 per liter, sehingga subsidi solar menjadi Rp 1.000 per liter. Penambahan alokasi subsidi solar per liter akan merogoh kocek pemerintah empat hingga lima triliun rupiah. Meskipun hal ini didasari oleh harga minyak dunia yang terus meningkat, menarik untuk melihat motif apa yang melatarbelakangi keputusan pemerintah ini.

Kontradiktif

Jika kita meninjau kebelakang, pemerintahan Jokowi justru getol menghapus subsidi yang memberatkan negara. Dimulai pada tahun 2015, ketika subsidi untuk premium dihapus dan diganti dengan subsidi tetap untuk solar. Pada saat itu, harga premium naik sebesar Rp500 per liter menjadi Rp7.400, sedangkan untuk solar menjadi Rp6.900 per liter. 

Anggaran subsidi BBM pada tahun 2014, sebelum dicabut, mencapai Rp210,7 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada subsidi listrik. Pemerintah pada tahun 2017 memutuskan untuk mencabut subsidi listrik untuk golongan 900VA secara bertahap, yaitu pada 1 Januari 2017, 1 Maret 2017 dan 1 Mei 2017. Jumlah pelanggan terdampak sebesar 19.1 juta pelanggan, dengan 4.1 juta pelanggan masih dapat menikmati subsidi listrik. 

Subsidi listrik kemudian disempurnakan merujuk pada Basis Data Terpadu (BDT), agar lebih tepat sasaran dan menjangkau masyarakat yang benar -- benar membutuhkan.

Pemerintah berdalih bahwa subsidi BBM dan listrik tidak tepat sasaran, sehingga lebih baik dana subsidi digunakan untuk proyek infrastruktur. Pada tahun 2015 setelah adanya pencabutan subsidi BBM, anggaran infrastruktur pemerintah mencapai Rp256,1 triliun, meningkat jauh dari tahun 2014 yang sebesar Rp154,7 triliun. Anggaran infrastruktur terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2018, yakni sebesar Rp410 triliun. Artinya, sejak pencabutan subsidi BBM anggaran infrastruktur telah meningkat hampir dua kali lipat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline