Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Pergulatan Komunitas Perempuan Bertutur dalam Dunia Sastra

Diperbarui: 13 Mei 2024   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yetti Martanti, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta (tengah) bersama Komunitas Perempuan Bertutur/Foto: Gendhis

"Tujuan kami mendirikan Komunitas Perempuan Bertutur adalah memberi ruang seluas-luasnya bagi perempuan  untuk menulis karya sastra," ujar Atik Yuliati, pengurus Komunitas Perempuan Bertutur di sela-sela  Launching dan Diskusi  Buku Langkah: Perempuan dan Aksi Politiknya, di Ndalem Pakuningratan, Sompilan (11/5/2024) dengan narasumber  Agus Leyloor Prasetia,  Atik Yuliati, dan Herry Mardianto.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, dalam sambutannya menyatakan kekaguman terhadap keberadaan  antologi fiksi mini yang diluncurkan.

"Antologi ini hadir sebagai tonggak literasi,  mengangkat perempuan dalam panggung politik. Jadi antologi ini membawa kita pada perjalanan yang lebih dalam tentang  perempuan dan aksi politiknya," jelas Yetti.

Di bagian lain dikatakan, melalui karya-karya yang ada, kita disuguhi  beragam sudut pandang dan pengalaman. Penulis berhasil menangkap esensi dari perjuangan, keberanian, serta kebijaksanaan perempuan dalam   merajut benang-benang kehidupan politik.

Sejarah mencatat, peran perempuan  dalam politik seringkali terpinggirkan  atau terlupakan. Melalui antologi ini  kita diingatkan kembali akan kontribusi perempuan dalam membangun tatanan politik  yang lebih inklusif dan berkeadilan. 

Dalam konteks lokal, Yogyakarta menjadi ladang subur bagi  literasi budaya dan sastra. Kehadiran antologi ini  menjadi momentum penting untuk mengangkat dan mengapresiasi sastra lokal.

Suasana diskusi/Foto: Yupi

Dalam diskusi, Agus Leyloor menjelaskan bahwa penguasaan terhadap bahasa menjadi penting saat menulis karya kreatif maupun karya nonsastra. Dosen Teater di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta ini menyayangkan beberapa penulis  menamai tokoh dengan asal-asalan, tidak mempertimbangkan karakter dalam penokohan.

"Pemakaian nama dalam karya sastra harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Nama dalam masyarakat Jawa merupakan kinarya japa, pusaka, mencerminkan  watak dan harapan. Jadi penamaan tokoh tidak boleh asal-asalan," tutur Agus Leyloor.

Sementara Atik menjelaskan  proses penerbitan antologi yang memuat dua ratus fiksi mini karya enam puluh penulis.

"Antologi berisi  karya penulis pemula dan penulis yang sudah ikut berproses sejak tiga tahun lalu. Artinya, beragam kualitas akan ditemui dalam antologi ini,"  papar Atik.

Sementara itu Herry Mardianto memaparkan adanya hubungan segi tiga antara pengayom, penulis, dan penerbit dalam dunia sastra. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline