Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Relevansi Sastra dan Budaya

Diperbarui: 2 Desember 2023   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel klasik  Sitti Nurbaya/Foto: Hermard

/1/

Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra dan budaya memiliki jalinan yang sangat erat. Sastra merupaka  salah satu ekspresi budaya yang paling dominan karena mampu mencerminkan nilai-nilai, norma, sejarah, dan pengalaman masyarakat tertentu. Dalam perkembangan sastra Indonesia, sastra mencerminkan budaya Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan sebagainya.

Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa/Foto: Hermard

Beberapa hal yang menunjukkan relevansi  antara sastra dan budaya, antara lain sastra  mencerminkan realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya suatu masyarakat. 

Karya sastra dapat menjadi cerminan/gambaran  bagaimana masyarakat  melihat dunia dan nilai-nilai yang mereka anut.

Sastra memaparkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. 

Sastra dapat membantu mempertahankan dan memperkuat identitas budaya. Melalui karya sastra, sebuah kelompok budaya dapat merayakan warisan mereka, bahasa, tradisi, dan cerita-cerita khas mereka. Awal kelahiran sastra Indonesia misalnya, didominasi oleh budaya dan tradisi Minangkabau yang berkaitan dengan kawin paksa, contoh mainstream adalah novel Siti Nurbaya.

Pembahasan dan novelet Sri Sumarah/Foto: Hermard

Kemudian pada tahun 1970-an hingga 1980-an muncul karya sastra dengan dominasi warna lokal Jawa dengan munculnya Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag), Burung-burung Manyar, trilogi Rara Mendut (Romo Mangunwijaya), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Para Priyayi (Umar Kayam), dan lainnya.

Karya-karya dengan latar lokal Jawa tersebut berkontribusi pada perkembangan bahasa Jawa. Penulis memanfaatkan kata-kata lokalitas (Jawa), gaya bahasa, atau menggunakan bahasa dengan cara yang kreatif yang mempengaruhi pemanfaatan latar sosial budaya yang dikedepankan.

Di samping itu, karya sastra klasik sering menjadi bagian integral dari warisan budaya suatu bangsa atau kelompok. Karya tersebut berfungsi membantu memelihara bahasa kuno, tradisi, dan pengetahuan yang diteruskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini dapat kita pahami kehadiran Serat Wulangreh, Wedhatama, atau Kalatida (Ranggawarsita). Kalatida (tanda zaman) berisi ajaran mengenai ketuhanan, takdir, ikhtiar, mawas diri, dan eling lan waspada. Hal ini juga melandasi pemikiran Mangkunegara IV dalam Serat Wedatama.

Di sisi lain, sastra adalah cara yang efektif untuk memahami budaya lain. Melalui membaca sastra dari berbagai budaya, seseorang dapat mendapatkan wawasan tentang cara pandang dan pengalaman orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Dominasi sastra Sumatera (Minangkabau) dan warna lokal Jawa, misalnya, mampu membuka wawasan pembaca mengenai budaya Minang dan Jawa.

Jadi, sastra dan budaya adalah dua hal yang saling terkait dan saling memengaruhi. Sastra adalah ekspresi yang kuat dari budaya, dan melalui sastra, kita dapat memahami lebih dalam nilai-nilai, sejarah, dan pemikiran masyarakat yang berbeda.

/2/
Hal menarik dalam perkembangan karya sastra (khususnya prosa) Indonesia pada tahun 1980-an ditandai dengan terbitnya beberapa karya sastra yang berusaha mengangkat latar Jawa lewat fakta sastra sebagai elemen pembentuk cerita. 

Roro Mendut/Foto: Hermard

Latar Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an mempunyai daya tarik tersendiri,  pada gilirannya mampu menggeser pernyataan Ashadi Siregar  bahwa kecenderungan umum novel Indonesia tidak mengidentifikasikan pelaku atau figur yang diceritakan dalam kaitannya dengan budaya etnis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline