Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Dirgahayu, Memadamkan atau Menyalakan Lilin?

Diperbarui: 26 Oktober 2022   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: id.quora.com

Pengantar

Saya memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan, benarkan menyalakan lilin dan memadamkannya di atas sebongkah kue pada saat seseorang (satu unit instansi/organisasi) menemui hari kelahirannya itu sebagai satu kebudayaan milik etnis atau bangsa Indonesia? Atau kurang lebihnya, apakah menyalakan/memadamkan lilin sesudah berdoa itu merupakan bagian dari perayaan atas bertambahnya umur?

Saya pastikan para pembaca memiliki dimensi jawaban yang variatif. Saya sendiri sudah pernah menulis materi ini di weblog yang dikelola Majelis Jemaat Pniel Tefneno Koro'oto[1]. Rupanya hal menyalakan/memadamkan lilin di atas sebongkah kue sudah membudaya. Lalu kepada  para pelakunya, saya bertanya lagi, tahukah Anda buday ini dimulai dari mana?

 Menurut saya, mereka yang memimpin doa mesti menyampaikan pencerahan mendahului penyalaan/pemadaman nyala lilin. Hal ini agar para penggembira mengetahui asal-usul, makna dan dampaknya pada mereka, dan pada semua orang yang turut serta dalam acara ini.

 

Filosofi menyalakan/memadamkan Lilin

 Saya bertanya pada seorang pendeta segera setelah acara sukacita perayaan hari ulang tahun satu jemaat GMIT. Pertanyaan saya, sebaiknya menyalakan atau memadamkan lilin jika mengucap syukur pada hari kelahiran? Sang pendeta terdiam beberapa saat, lalu sambil tersenyum ia menjawab (dengan nada agak ragu), "menyalakan lilin."

Lalu saya bertanya lagi, "Mengapa pada selalu memadamkan (ditiup)?" Lagi-lagi sang pendeta tersenyum belaka.

Kami melanjutkan percakakapan tentang menyalakan/memadamkan lilin pada acara syukuran hari kelahiran. Saya menguraikan hal ini dari aspek sejarah. Pada zmaan Yunani kuno, masyarakat membawa kue ke dalam kuil untuk dipersembahkan kepada dewi kesuburan (Delila) dan dewa Perburuan (Artemis).

Ketika mereka memasuki kuil yang gelap mereka harus menyalakan lilin agar ruangan penyembahan menjadi terang. Lalu, ketika sudah tiba di altar dewi/dewa, lilin segera dipadamkan (tiup). Asap lilin yang telah padam diyakini membawa aroma dari persembahan masyarakat. Aroma itu akan sampai kepada lubang pembauan dewa Artemis dan dewi Delila.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline