Lihat ke Halaman Asli

Hanindito Danusatya

A law graduate who loves to learn from history and society

Mengenal Bung Hatta lewat Otobiografi

Diperbarui: 8 September 2020   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa membaca buku otobiografi beliau yang terbagi dalam 3 jilid ini, tentu banyak orang sudah merasa kenal, atau setidaknya cukup tahu tentang sosok Mohamad Hatta, atau yang lebih kondang dikenal sebagai Bung Hatta. Saya sendiri, mulanya agak ragu membeli buku 3 jilid ini. Selain karena harga 3 jilidnya yang memang tidak murah untuk ukuran mahasiswa--waktu itu, sosok Bung Hatta sendiri sudah cukup kesohor dan bisa saya kenali mozaik kisahnya melalui tulisan-tulisan tentang beliau, baik yang dituangkan dalam bentuk buku, maupun dalam artikel daring.

Otobiografi ini dibagi dalam 3 jilid. Jilid pertama berjudul Bukittinggi - Rotterdam Lewat Betawi, Jilid kedua :Berjuang dan Dibuang, dan Jilid ketiga : Menuju Gerbang Kemerdekaan. Susunan jilid ini menggambarkan susunan kronologis kehidupan beliau. Jilid pertama sudah tentu berkisah tentang fase awal kehidupannya. 

Sejak ia lahir sebagai anak seorang pedagang di Bukittinggi, melanjutkan studinya ke sekolah dagang di Jakarta, hingga tumbuh menjadi seorang mahasiswa ekonomi kutu buku yang sekaligus aktivis pergerakan kemerdekaan Hindia Belanda di Rotterdam. Jilid kedua, menggambarkan perjalanan hidup beliau sekembali dari Belanda. 

Turut serta dalam perjalanan bisnis sang paman, kembali ke tanah kelahiran, mendirikan PNI baru pasca ditahannya Bung Karno, hingga menjalani masa pembuangannya di Boven Digul, Banda Neira, dan terakhir Sukabumi. Jilid ketiga, bicara soal-soal peran beliau di masa kedatangan Jepang, persiapan kemerdekaan, hingga masa-masa awal merintis pemerintahan Indonesia merdeka yang penuh liku.

Membaca otobiografi Bung Hatta serasa membaca salah satu karya mahsyur penulis kenamaan Jepang, Natsume Soseki yang berjudul Botchan. Meskipun menggunakan gaya bahasa 'lama'--yang amat terasa melalui diksi dan susunan kalimatnya,  cara Bung Hatta dalam menggambarkan kondisi-kondisi yang terjadi dalam kisahnya amat lugas dan gamblang. 

Bung Hatta juga mengajak kita, para pembacanya, memahami kisah-kisah dalam buku tersebut secara utuh, seolah kita bisa betul-betul menciptakan theater of mind kita sendiri melalui kata-kata dalam bukunya. Beliau tak hanya bisa menunjukkan lokasi suatu kejadian atau percakapannya dengan para tokoh dalam buku tersebut, namun juga jam kejadian yang berurutan, bahkan menu makanan beliau saat itu. Berkali-kali Bung Hatta menggambarkan beliau makan roti, telur dan, teh--yang terbawa dari kebiasaan beliau ketika di Belanda dulu.    

Dalam buku beliau, banyak juga kisah-kisah human interest, yang mungkin hanya bisa kita temukan dalam buku itu seperti kisahnya dengan Bung Karno menertawakan Soekarni--yang notabene adalah "penculik" beliau ke Rengasdengklok menjelang 17 Agustus 1945, yang justru meminjam baju Bung Hatta sepulang dari rumah beliau karena Soekarni, yang menggaungkan gerakkan reformasi pemuda melawan pemerintah Jepang ini takut diculik kempetai karena menggunakan seragam PETA, atau kisah tentang rumah tinggalnya di Banda Neira yang konon "berhantu".

Banyak pula kisah-kisah menarik yang bagi saya menjadi berharga karena belum pernah saya temukan baik dalam tulisan penulis lain maupun dalam artikel-artikel daring. Misalnya kisah tentang "tragedi Soekarno". Begitu beliau membahasakannya.  Pada bagian tersebut, beliau menuliskan kisah tentang Soekarno sebagai contoh nyata tragedi seorang aktivis. Soekarno digambarkannya berpindah haluan dari seorang "pembangkang tulen" karena mengambil jalur non-kooperatif dengan pemerintah Belanda sebagai agitator handal. 

Bung Hatta pula menunjukkan ketidaksetujuannya dengan kritik Bung Karno pada pengambil jalur kooperatif. Setelah bertahun menjalani penahanan dan pembuangan dari satu pulau ke pulau lain, dari satu penjara ke penjara lain, Soekarno kemudian memilih jalur baru sebagai sosok yang kooperatif selepas pengunduran dirinya dari seluruh pergerakan yang diikutinya. 

Dalam buku ini, dikisahkan, bagaimana banyak aktivis pada masa itu yang turut kecewa dengan langkah yang diambil sang singa podium. Namun, di sisi lain, Bung Hatta ternyata juga justru mengkritik para aktivis yang mencibir Soekarno. Baginya, tindakan yang dilakukan para aktivis lainnya ini sama mengecewakannya dengan langkah yang diambil Soekarno. Baginya seorang reformis sejati harus senantiasa memiliki pekerti yang baik dan berpegang pada cita-cita. Bukan hanya pada sosok yang didewakannya.

Kisah lain yang tak kalah menarik adalah gambaran yang tercipta dari tulisan Bung Hatta ini tentang hubungannya dengan Bung Karno. Soekarno dan Hatta, sejak era orde baru telah diagungkan menjadi satu kesatuan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline