Lihat ke Halaman Asli

Hayyun Nur

Penulis dan Pemerhati Sosial

Pubertas Spiritual Akar Klaim Kebenaran: Menyoal Salah Paham tentang Tahlil

Diperbarui: 21 Oktober 2020   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah postingan menarik beredar. Di Facebook. Dikirimkan kepada saya oleh seorang sahabat. Rupanya postingan itu telah membuatnya gelisah.

Postingan itu memang menarik. Mungkin karena judulnya provokatif. Mungkin juga karena menyinggung suatu tradisi yang umum dipraktikkan masyarakat.

Belum lagi, langsung atau tidak langsung postingan itu mencela tradisi tahlilan yang banyak berkembang di masyarakat. Kbususnya di lingkungan muslim tradisional. Seperti juga yang saya praktikkan di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar.

Postingan itu berjudul, "Anak yang Tidak Mengadakan Tahlilan, Itulah yang Berbakti."

Postingan-postingan senada memang banyak berseliweran di era media sosial ini. Namun bilapun benar, postingan model begitu sama sekali tidak bijak. Bukan saja tidak bijak. Malah melanggar prinsip dakwah bilhikmah wal mauidzah hasanah.

Apalagi isu yang dibahas, sesuatu yang kontroversial. Sesuatu yang memang telah lama menimbulkan perbedaan pendapat. Tentu tidaklah bijak bila masing-masing pihak yang berbeda pendapat itu mengklaim paling benar. Lalu menyalahkan bahkan menuding sesat pihak lainnya.

Tahlilan memang tidak dipraktikkan di zaman Nabi dan Sahabat. Tapi ini tidak cukup untuk dijadikan dalil menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Ada begitu banyak hal terkait ibadah yang tidak dipraktekkan di zaman Nabi, tapi halal dan boleh dilakukan.

Bukan saja terkait ibadah non ritual (ghair mahdah). Bahkan juga berkenaan dengan ibadah ritual (mahdah). Berbagai gerakan dan bacaan di dalam shalat misalnya, tidak saja hanya bersumber dari al-Quran dan hadis. Tetapi juga didasarkan pada fatwa tabiin dan para ulama.

Sebut juga misalnya dalam ibadah zakat. Di zaman nabi dan para sahabat, tidak ada praktek berzakat dengan beras atau sagu. Tapi itu tidak lantas haram untuk dilakukan pada zaman sekarang.

Di zaman Nabi dan sahabat, tidak ada al-Quran dengan tulisan yang berharakat. Jangankan berharakat, di masa itu huruf al-Quran bahkan tidak bertanda baca.

Tulisan al-Quran yang bertanda baca dan berharakat baru muncul hampir 100 tahun setelah masa Nabi dan sahabat berlalu. Tapi itu tidak membuat membaca al-Quran yang berharakat dan bertanda baca menjadi haram dan tidak halal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline