Lihat ke Halaman Asli

Rahmi H

Peskatarian

Apa yang Hendak Kau Kisahkan Hari Ini?

Diperbarui: 5 Desember 2020   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri (CM)

Suatu hari, ia mendapati kursi itu kosong, kemanakah perempuan itu? Batinnya bertanya lirih. Ia mencari ke segala arah, namun ia tak menemukan apapun.

Perlahan hatinya mulai bimbang, dipikirannya semua prasangka mulai berkelindan, kecemasan mulai membayang di matanya yang teduh.

Ke mana ia harus mencari?
Apakah cerita-cerita yang dituturkannya selama ini, membuat perempuan itu mengambil keputusan untuk pergi?

Tapi perempuan itu amat menyukai tempat duduknya, ia rela terus berada di situ entah berapa lama. Waktu seperti berhenti, semenjak lelaki itu rutin mengunjunginya dan berkisah tentang segalanya. Ia berjanji akan menajamkan telinga agar kisah-kisah itu terdengar bermakna.

Kursi itu, persis di samping jendela, entah pemandangan apa yang ada di luar sana, lelaki itu tak tahu, sebab ia tak pernah berniat sedikitpun duduk di sana.

Ketika ia hendak berkisah, ia mendatangi perempuan itu, mencari kursi lain dan duduk persis di hadapannya, ia akan menatap lurus ke arah mata perempuan itu, lalu ia akan menuturkan cerita yang telah ia siapkan sebelumnya.

Perempuan itu mendengarkan penuh rasa takjub. Sesekali ia melirik keluar jendela, senyumnya terus mengembang, hingga kisah-kisah itu selesai diceritakan. Ia tak pernah menyela atau bertanya.

Meski ia diam saja, tapi lelaki itu mengerti, perempuan itu mendengarkan kisahnya sepenuh hati. Ia telah menjadi sebenar-benarnya tempat kembali, ke manapun lelaki itu pergi.

Tapi, hari ini perempuan itu menghilang, ia hanya menemui kursi kosong dan hampa tanpa manusia. Ia hendak memanggil, tapi lidahnya kelu sebab ia tak tahu nama siapa yang hendak diucapkannya.

Lelaki itu mulai gamang, ia sadar, tak pernah bertanya apapun pada perempuan itu, meski sekadar nama. Lalu, dengan apa ia akan menyapa? Ia tersentak, bahkan dalam doanya perempuan itu hadir hanya sebagai bayangan, bukan nama.

Di sela keraguannya yang makin sempurna, ia melangkah perlahan, mendekati kursi itu, menyentuh ujungnya, lalu ia memberanikan batinnya, duduk di sana. Ia menyadarkan punggungnya di kursi itu, ada kenyamanan yang menyeruak di dadanya, ia menutup mata perlahan meresapi apa yang dirasakannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline