Lihat ke Halaman Asli

H.Asrul Hoesein

TERVERIFIKASI

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pembuktian Terbalik Larangan Penggunaan Kantong Plastik

Diperbarui: 19 Maret 2019   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pemulung Sampah di TPA Banyuurif Tegalrejo Kota Magelang (18/3). Sumber: Pribadi

Pemerintah pusat telah mendorong pemerintah daerah (pemda) agar menerbitkan peraturan gubernur (pergub) dan peraturan walikota/bupati (perwali/perbup) untuk melarang produksi dan penggunaan kantong plastik dan anehnya membiarkan penjualan kantong plastik melalui Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO). Satu bukti kebijakan ini bermasalah, karena tidak semua anggota APRINDO melaksanakan kebijakan asosiasinya tersebut. 

Alasan mendasar kebijakan ini adalah bahwa sampah plastik dianggap tidak ramah lingkungan dan di Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA) menjadi dominan dan sangat merusak lingkungan. Padahal satu kata atau prasa "melarang produk" dalam regulasi tidak ditemukan. 

Semua merupakan pertanda tidak ada pihak yang mengejawantah dan mengaplikasi regulasi dengan benar serta minim monitoring dan evaluasi (monev) oleh pemerintah, pemda, asosiasi dan lembaga swadaya terhadap potensi sampah plastik dan kondisi TPA. Data yang dimiliki oleh pemerintah dan pemda tidak akurat, ahirnya menghasilkan kebijakan yang keliru dan sesat. 

Kenyataan dihampir semua TPA di Indonesia yang bermasalah adalah sampah organiknya. Masih menerapkan pola open dumping, sementara pola ini seharusnya dihentikan oleh pemda sejak tahun 2013 yang lalu. Justru hal tersebut yang menjadi masalah besar, bukanlah sampah plastik yang bermasalah. Tapi kebijakan "melarang produk berbahan plastik dan ps-foam" yang bertentangan perundang-undangan. 

Permasalahan semakin diperparah karena pengelola industri daur ulang plastik (DUP), NGO/LSM dan pemerhati sampah serta akademisi seakan terpancing oleh issu plastik ramah lingkungan. Hanya berdebat pada solusi atau "prasa plastik" saja dan teknologi pengolahan plastik semata lalu ahirnya mengabaikan substansi masalah yaitu tata kelola sampah - waste management - yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. 

Sementara solusi sampah haruslah dibahas secara holistik atau menyeluruh. Sampah organik, anorganik dan limbah B3. Kenapa sampah plastik kurang ke TPA ? Semua itu disebabkan karena potensi ekonomi dari sampah anorganik (plastik, kertas, kayu, besi dll) itu cukup menggiurkan dan dibutuhkan industri daur ulang plastik di Indonesia. 

Maka hampir dipastikan bahwa sampah anorganik sangat minim menyentuh TPA. Kondisi ini merupakan pembuktian terbalik bahwa sampah plastik tidak menjadi masalah atas penggunaan kantong plastik. Karena sampah plastik justru menjadi bahan baku utama industri daur ulang melalui pemulung sampah. 

Pada tingkat awal di Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) itu sudah mulai dipungut oleh pemulung yang bergerak, selanjutnya dipilah dan dipilih oleh para petugas angkut sampah ke TPA, mereka pilah dalam perjalanan. Fenomena ini pula terjadi kesan bahwa petugas angkut transportasi tidak menginginkan sampah dipilah di rumah tangga dan/atau di kawasan timbulan sampah lainnya. 

Dalam kunjungan langsung penulis di TPA Banyuurif Tegalrejo Kota Magelang (18/3), para pemulung sampah di TPA tersebut mengeluh karena sampah anorganik seperti botol plastik, kertas, karton dll. hampir tidak ada lagi sampai ke TPA, hanya yang ada sampah kantong plastik dan semacamnya. Jadi umumnya sampah plastik yang jatuh ke TPA adalah sampah kantong plastik saja yang mendominasi barak-barak pemulung di TPA atau hasil sortiran pemulung bergerak dan petugas angkut sampah. 

Sangat disayangkan pula fungsi TPA belum maksimal digunakan. Pasalnya dari 438 TPA, baru mungkin sekitar 10 persen yang beroperasi maksimal. Itupun dari 10 persen itu masih kombain dengan pola open dumping. Karena aplikasi pola control landfill dan sanitary landfill juga belum maksimal. 

Fakta bahwa TPA di Indonesia setiap tahunnya "meminta" diperluas karena kian hari jumlah sampah yang ditampung semakin menggunung. Percepatan penambahan sampah yang masuk tidak sebanding dengan jumlah sampah yang berhasil diproses. Bisa bayangkan, bila tidak ada upaya untuk mengurangi sampah di sumber timbulannya, maka TPA bisa jadi akan menggusur wilayah pemukiman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline