Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Cerita untuk Raisa Andriana

Diperbarui: 4 September 2017   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (@kulturtava)

Mulai hari ini aku akan melupakanmu dan mengingatmu sekali-kali saja. Secukupnya. Itu jauh lebih baik dari apapun aku kira. Tapi kalau bisa malah sebelum aku selesai menuliskan ini, bagaimana? Kamu sepakat? Tidak? Baiklah, tapi ada yang mesti kamu tahu: semua ini bukanlah perkara mudah.

Barangkali aku akan seperti dalam puisi Saut Situmorang: seseorang yang akan mencintaimu dengan cinta yang pernah kecewa. Lalu entah apa bisa menjalani cinta selanjutnya? Ini semua pilihan kita. Kecewa adalah akibatnya.

Ketika menulis ini aku senyum-senyum sendiri asal kamu tahu. Mengkhayal memang sebegini menyakitkan. Menerima kenyataan bisa begitu menyedihkan. Melupakanmu adalah caraku pura-pura merayakan kebahagiaan. Tenang, aku tidak akan mengingkari semua ini. Percayalah seperti ketika aku dan kamu, dulu, kalau hujan pasti berhenti sebelum kita sampai dan kita tetap menerabasnya. Hujan membasahi kita. Kita sama-sama paham bagaimana menghangatkan. Namun yang selalu basah, sampai sekarang, itu kenangan.

Jika pada satu hari kita (kembali) dipertemukan masih sama-sama menggenggam kecewa, kira-kira apa yang kamu lakukan? Aku sekadar menanyakan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa. Toh, jika pertanyaan itu kamu kembali tanyakan, aku juga tidak tahu mesti menjawab apa.

Apa diam adalah jawaban? Setidaknya jawaban terbaik sebelum keliru yang diikuti banyak alasan.

Atau, barangkali jawaban adalah pertanyaan itu sendiri?

Aku ingin jadi penyair. Penyair yang baik, yang bisa mengindahkan perpisahan; mengelamkan kesedihan. Penyair yang bisa merayakan perpisahan dengan membuat luka baru. Penyair tidak takut gelap. Yang jauh ditakuti penyair justru kebahagiaan. Walau berpisah denganmu tidak pernah sekalipun terpikirkan.

Tidak perlu kamu heran. Konon memang begitu jalan penyair. Aku sudah siap setelah ini. Kamu juga. Kelak, kita akan bersama dalam puisi-puisi panjang yang aku tuliskan. Itu maksudku!

Tak ada yang abadi, tentu, tapi ingatan setidaknya bisa hidup kekal dalam kenangan. Lewat hujan, senja atau kekecewaan yang kita berusaha relakan.

Semestinya aku sudahi cerita ini. Sebab semakin aku berusaha terus menulisnya, semakin aku susah melupakanmu. Tenggelam dalam kata-kata, tersedak oleh kenyataannya. Tapi, toh aku sedang berusaha mencoba kehilangan dan ditinggalkan. Karena tidak mungkin aku meninggalkan. Aku akan berjuang dan berjuang seadanya. Sekuat-kuatnya tersiksa.

Melupakanmu adalah kebodohan. Seperti menghindar dari bayangan! Apa bisa? Bahkan tempat paling gelap sekalipun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline